Harga gula saat ini masih rendah yakni Rp 8.900 per kg hingga Rp 9.000 per kg di tingkat petani. Hal ini tentunya membuat petani merugi. Pasalnya, biaya produksi petani adalah Rp 10.500 per kilogram (kg). Perlu insentif untuk gairahkan minat petani.
Executive Vice President PTPN III Aris Toharisman menyatakan bahwa harga gula sulit untuk naik hingga akhir tahun. Karena sejauh ini stok dari impor raw sugar 1,1 juta ton masih belum terserap maksimal.
“Terus terang petani rada kesulitan untuk membiayai dan mengembangkan tebu yang ada sekarang. Terutama dampak ke petani itu, harga yang mereka terima, walaupun Bulog menyerap Rp 9.700 per kg, tapi karena biaya produksi mereka rata-rata Rp 10.500, maka sebagian petani kita mengalami kerugian,” papar Aris.
Akibat kerugian ini, petani tebu akhirnya akan kesulitan untuk merawat kebun dan mengembangkan tanaman tebu mereka. “Makanya, tahun depan kemungkinan jumlah tebu giling relatif tetap atau bahkan bisa turun,” kata Aris.
Menurut dia, harga yang pas untuk petani adalah Rp 11.000 per kg. Hal ini guna menambah profit petani yang nantinya juga berdampak pada perbaikan mutu.
“Harga itu kalau kita lihat biaya produksi petani Rp 10.500 per kg, tahun ini tentu dengan kenaikan biaya dari sudut pandang petani, harga gula itu minimal di angka Rp 11.000 supaya ada profit juga,” ujar Aris.
Ia berharap pemerintah bisa berkompromi agar harga eceran tertiggi (HET) bisa menyelamatkan petani tebu. Saat ini, HET untuk gula di bawah Rp 12.500 per kg.
Untuk menentukan harga produksi, sebelumnya lembaga independen yang melibatkan perguruan tinggi dan Kementerian Pertanian sudah meriset sebelum memulai penggilingan tebu, dan didapat harga produksi Rp 10.500 per kg.
“Di satu sisi, ongkos dan biaya produksi kita relatif tinggi. Ya harus ada kompromilah. Petani berharap dari survei itu harga beli gula harus di atas dari biaya mereka,” kata Aris lagi.
Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengatakan, saat ini harga gula lokal terus terpuruk di bawah Rp 9.000 per kg di tingkat petani. Hal ini berdampak besar bagi petani tebu, apalagi hingga saat ini Bulog belum menyerap seluruh gula petani.
“Harga gula rendah dan tetap makin turun. Kemarin di jual Rp 9.000 sekarang nggak laku. Kita jual susah, kalau mau jual yaa di bawah Rp 9.000 lah. Jadi yang sangat butuh duit menjual gula di bawah itu,” kata Soemitro.
Menurut Soemitro, Bulog sejauh ini menyerap gula dengan harga Rp 9.000 per kg, hanya saja belum seluruh gula di tingkat penggilingan swasta dan pemerintah yang sudah diserap.
“Bulog menyerap memang, tapi kan nggak semua. Terutama bagi petani yang menggiling di pabrik swasta,” ujarnya.
Akibat 1,1 juta ton gula impor, saat ini harga gula lokal sulit untuk menanjak. Untuk harga produksi saja Rp 10.500 per kg, namun Bulog hanya menyerap dengan harga Rp 9.000 per kg.
Dampaknya adalah petani urung untuk menanam tebu. “Petani itu gairahnya hilang sama sekali untuk menanam tebu. Itu yang saya khawatirkan. Harapannya ya harga Rp 12.000 per kg dan itu harga yang wajar,” ujarnya.
Karena itulah, ia berharap impor gula distop hingga selesai panen pada November 2019. Soemitro juga berharap pemerintah bisa bertindak bijaksana dan adil terhadap polemik ini yang bermula dari data.
Ia mengatakan, sebelumnya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sempat mengatakan bahwa produksi gula akan ada tambahan 2,3 juta ton. Namun ia meragukan hal tersebut lantaran jumlah produksi per hektar saat ini jauh di bawah angka tersebut.
“Saat ini total produksi gula 2,1 juta ton dengan luas 450.000 ha, sehingga produksi per ha adalah 4,6 ton hingga 5 ton. Kalau mau menjadi 2,3 juta ton, berarti harus ada tanaman baru. Di mana itu kebunnya?” tukasnya.
Ia menegaskan bahwa data merupakan suatu hal yang penting untuk memitigasi kebijakan. Oleh sebab itu, ada baiknya masalah data perlu ada perbaikan dari seluruh stakeholder terkait.
Hal yang sama disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Agus Pakpahan. Menurutnya, minat petani untuk berkebun saat ini semakin berkurang. Hal ini terlihat dari minat petani untuk memajukan industri ini masih minim. Hal ini secara tidak langsung berkaitan dengan kesejahteraan petani.
“Kalau buat saya nggak aneh harga jatuh. Memang tren harga riil komoditas pertanian dimana perkebunannya di dalamnya, memang trennya turun terus sejak lama,” ujarnya.
Ia lalu mencontohkan hal yang sama yang terjadi pada industri gula. Pada tahun 2008 produksi gula meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2000. Selain itu luas areal kebun petani juga meningkat. Hal ini akibat insentif yang diberikan pemerintah saat itu.
“Tahun 2000 itu produksi gula kita 1,5 juta ton, dan di tahun 2008 naik 2,6 juta ton. Luas kebun tebu petani juga naik 89.000 ha. Ini karena ada insentif yang bisa diterima petani berbentuk kepastian harga,” jelasnya.
Insentif yang didapat oleh petani tebu lebih tinggi dari opsi komoditas lainnya yang mana saat itu disebut sebagai sistem dana talangan. Sayangnya, program ini tidak berkelanjutan dan tidak didukung oleh pemerintah. “Di gula pun sistem ini berhenti karena pemerintah lebih mengutamakan impor. Jadi sekarang produksi gula turun menjadi 2,1 juta ton. Karena petani sudah merasa tidak menarik lagi,” jelasnya.
Menurut Agus, dukungan para pemangku kepentingan di negara-negara maju untuk sektor pertanian sangatlah besar. Kebijakan seperti itu, berbanding terbalik dengan petani di Indonesia.
Dari sisi harga, misalnya, estimasi biaya produksi petani tebu yang dirilis oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sebesar Rp10.500 per kilogram (kg). Nilai itu jauh dari harga jual yang dipatok pemerintah sebesar Rp9.100 atau Rp9.700. Hal sama juga berlaku untuk tanaman lainnya. Marjin yang diterima petani sangatlah kecil.
“Beberapa tahun terakhir, kepastian untuk mendapatkan insentif berkurang dibandingkan dulu. Pada 2006, margin pemasaran yang diterima petani kurang lebih 80 persen, sekarang kecil sekali. Turunnya insentif membuat income (pendapatan) petani turun,” tegasnya.
Akibatnya, lanjut Agus, luas lahan pertanian di Indonesia kian mengecil. Luas lahan mengecil karena tidak ada ekonomi yang membaik di tingkat petani. Karenanya, solusi pemerintah untuk memperbaiki pendapatan petani harus terintegrasi, tidak boleh berdiri sendiri.
“Itu mulai dari ekonomi makro, suku bunga, kebijakan perdagangan, infrastruktur pertanian, sumber biaya pertanian, resecach and development (R&D). Itu semua harus nyatu karena akan menentukan daya saing pertanian kita. Jika itu kecil maka NTP (nilai tukar petani) akan menciut terus,” kata Agus.
Seperti diketahui, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan NTP nasional pada Juli lalu tercatat sebesar 101,66, turun 0,37 persen dari bulan sebelumnya.
Kepala BPS, Suhariyanto menegaskan, penurunan NTP karena indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari kenaikan harga yang dibayar petani untuk dikonsumsi oleh rumah tangga maupun keperluan produksi pertanian.
Di sisi lain, secara umum permintaan berbagai produk pertanian cenderung turun pasca Lebaran (Juni), sementara di sisi lain kebutuhan petani terhadap sejumlah kebutuhan pokok seperti telur, bahan bakar minyak (BBM), dan cabai tetap besar. Alhasil, kenaikan pendapatan petani tidak sebanding dengan kenaikan pengeluarannya. *** SH