
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menegaskan, ekspor minyak sawit Indonesia bukan hanya menguntungkan dalam negeri, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi negara-negara pengimpor.
Demikian disampaikan Tungkot dalam seminar Visi Ekonomi Hijau pada rangkaian The 2nd Indonesia Palm Oil Research and Innovation Conference and Expo (IPORICE) 2025 di Jakarta pada Kamis lalu.
Tungkot menyebut bahwa sawit Indonesia turut membagikan “kue ekonomi” global, karena produk sawit yang diekspor diolah kembali menjadi berbagai produk bernilai tinggi di negara tujuan ekspor.
“Rupanya sawit kita diimpor oleh China, diimpor oleh India, diimpor oleh Eropa. Di sana diolah kembali itu menciptakan kesempatan kerja bagi mereka. Artinya, kita membagi kue ekonomi kesempatan kerja melalui sawit,” ujarnya.
Tungkot menilai bahwa tekanan atau boikot dari negara-negara Barat justru akan berbalik merugikan mereka sendiri, karena selama ini mereka mendapatkan manfaat ekonomi besar dari keberadaan sawit Indonesia.
“Jadi, bohong Eropa akan menolak sawit Indonesia, karena akan rugi sendiri. Nilai ekonomi yang diciptakan oleh sawit di sana itu cukup besar,” tegas Tungkot.
Indonesia memegang posisi kunci di pasar minyak nabati global. Minyak sawit kini menjadi minyak nabati terbesar di dunia, di mana Indonesia sebagai produsen utamanya.
“Benar bahwa Indonesia sudah game changer daripada pasar minyak nabati dunia, terutama sawit. Kalau Indonesia naikkan B40 ke B50, itu pasar dunia guncang. Itu sudah terbukti dari pengalaman kita selama ini,” ujarnya.
Berdasarkan data Oil World 2025 total ekspor sawit dunia mencapai 9,9 juta ton pada Juni–Juli 2025, naik 1,1 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan permintaan paling signifikan datang dari Bangladesh (naik 131 persen), diikuti Afrika (50 persen), Filipina (42 persen), dan Pakistan (37 persen). Negara besar seperti India dan China juga mencatat kenaikan masing-masing 16 persen dan 10 persen, sedangkan pasar Uni Eropa naik 7 persen.
Wakil Sekretaris Jenderal CPOPC, Musdhalifah Machmud menyebutkan bahwa Indonesia sendiri memainkan peran besar dalam menjaga pasokan global. Dari total luas daratan nasional 189 juta hektare, sekitar 16,38 juta hektare (7,4 persen) merupakan areal perkebunan kelapa sawit.
Dari jumlah tersebut, 53 persen dikelola oleh perusahaan swasta, 42 persen oleh petani rakyat, dan 5 persen oleh BUMN. Produktivitasnya mencapai 5–6 ton CPO per hektare per tahun.
Secara global, lanutnya, lahan sawit hanya menggunakan 8 persen dari total area tanaman minyak nabati, namun mampu menyumbang 34 persen terhadap pangsa pasar minyak nabati dunia.
Sebaliknya, kedelai yang menguasai 26 persen pasar justru membutuhkan area tanam jauh lebih luas dengan produktivitas rendah.
“CPOPC menegaskan, peluang sawit ke depan tetap besar, namun keberlanjutannya hanya bisa dijamin melalui transformasi menuju sawit ramah lingkungan dan kolaborasi internasional,” imbuhnya.