Mentan Amran Yakin Konsumen Global Tak Akan Beralih dari Minyak Sawit

0
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman pada Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024. (Foto: Kementan/Majalah Hortus)

Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman menegaskan keyakinannya bahwa konsumen global tidak akan beralih dari minyak sawit mentah (CPO) meskipun harga CPO di pasar internasional saat ini lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya.

Keyakinan tersebut disampaikan Mentan Amran sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang mencemaskan potensi pergeseran permintaan terhadap minyak nabati lain.

“Enggalah, insyaallah,” kata Mentan Amran dengan percaya diri saat ditemui setelah bertemu Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Anindya Bakrie, di Kantor Pusat Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Senin (10/3).

Mentan Amran menjelaskan, pasar minyak nabati bersifat dinamis alias tidak tetap.

“Ada kondisi tertentu di sana tanamannya (kedelai, rapeseed, dan bunga matahari) lagi bagus, tapi begitu musim salju atau musim tidak tanam, tentu harga akan naik,” ujar dia.

Sebelumnya, Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menyebutkan bahwa harga minyak sawit saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sawit kini telah menjadi minyak premium di pasar global.

“Harga minyak sawit ini sekarang sudah lebih tinggi dari minyak nabati lain. Artinya bahwa sawit ini sekarang sudah menjadi minyak premium,” kata Eddy dalam Konferensi Pers dan Syukuran HUT Gapki ke-44 di Jakarta, Kamis (6/3).

Menurut Eddy, kondisi ini justru menjadi tantangan besar bagi industri sawit Indonesia. “Menurut kami, ini bisa jadi bahaya jika terus berlanjut seperti ini. Contohnya, India sudah mulai beralih ke minyak nabati lain,” ujar dia.

Meskipun minyak sawit sulit untuk digantikan di pasar global, Eddy menegaskan bahwa jika harga minyak sawit terus tinggi, lambat laun konsumen akan beralih menggunakan minyak nabati lainnya yang lebih murah.

“Kalau konsumen itu sudah beralih ke minyak nabati lain, untuk kembali lagi ke sawit, rasanya itu butuh, butuh effort lagi yang cukup besar. Nah, ini yang kita khawatirkan,” ujar Eddy. “Jadi sebenarnya, kalau dengan harga yang tinggi terus ini kita juga tidak nyaman.”

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai kenaikan harga minyak sawit Indonesia di pasar global saat ini bisa jadi menjadi bumerang, seperti yang terjadi pada komoditas karet.

“Ingat tahun 1950 apa yang terjadi? 1950 itu perang Korea. Harga karet kita itu US$8,5 per kg. Apa yang terjadi? Muncul sintetik karet. Kenapa? Marginnya cukup tinggi sehingga mereka dengan cost chemical process bisa dapat,” tegas Sahat.

Sahat menilai, hal ini bisa saja terjadi pada sawit Indonesia jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas dalam menentukan harga.

“Jadi jangan mau kita dipermainkan dengan harga tinggi. Ini sudah di luar habitat anomali. Jadi kalau saya sarankan, saya sudah sampaikan pernah ke Menteri Perdagangan. Bapak Menteri harus mengambil posisi. Jangan sampai pialang atau bursa efek atau bursa komoditi yang menentukan price, tapi kita yang tentukan price,” ujar Sahat Sinaga.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini