Indonesia Suplai Sepertiga Kebutuhan Minyak Nabati Dunia

0

Kementerian Pertanian (Kementan), mengatakan, sepertiga kebutuhan minyak nabati dunia dipenuhi dari sawit Indonesia.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Prayudi Syamsuri mengatakan, kebutuhan minyak nabati dunia setiap tahunnya 90 juta ton. Adapun sepertiga dari kebutuhan tersebut disuplai dari sawit Indonesia.

“Artinya begitu strategis minyak sawit Indonesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia,” kata Prayudi seperti dikutip Majalah Hortus dalam sebuah podcast di Channel YouTube, Jakarta, Kamis (8/2).

Dibandingkan bahan baku minyak nabati lainnya, seperti rapeseed, soybean, dan sunflower, kata Prayudi, sawit memiliki banyak keunggulan, baik dari sisi luasan, produktivitas, hingga dalam hal penggunaan.

“Alhamdulillah kita memiliki luas 16,38 juta hektare sawit dengan tingkat produktivitasnya dan terlibat sumber daya manusia (SDM) kita menghasilkan minyak sawit yang luar biasa jumlahnya, selain kebutuhan dalam negeri seperti pangan, energi, dan oleokimia,” ujar Prayudi.

Keberadaan sawit saat ini dianggap sebagai ancaman bagi komoditas bahan baku minyak nabati lainnya. Oleh karena itu, beragam tantangan pun silih berganti untuk menganggu pasar komoditas ini.

“Tentu banyak gangguan-gangguan dalam hal pasar ini, karena tadi sawit kita memiliki keunggulan dalam hal produktivitas per hektarenya, sehingga memiliki harga dan tentu juga keunggulan dalam penggunaan,” ujar Prayudi.

Di antara tantangan yang berpotensi menghambat sawit adalah Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR). Aturan ini meminta agar produk sawit yang masuk ke Uni Eropa memiliki prinsip keberlanjutan (sustainability).

“Salah satu yang menjadi poin perhatian kita sekarang adalah regulasi dari Uni Eropa karena memiliki potensi menghambat masuknya minyak sawit kita ke Uni Eropa,” kata Prayudi.

Oleh sebab itu, upaya yang dilakukan Kementan adalah memperkuat diplomasi dan negosiasi bahwa di dalam kegiatan sawit ini terdapat petani kecil (smallholders), yang hanya memiliki 4 hektare, hidup dari kesuksesan sawit.

“Agar nagara-negara lain pun tahu bahwa kehidupan masyarakat kita yang jumlahnya 2,5 juta petani/pekebun yang langsung ke sawit ini bisa terganggu jika ada gangguan pemasaran,” ujar Prayudi.

Di samping itu, lanjut Prayudi, Kementan juga mempersiapkan strategi-strategi untuk menjawab poin-poin yang diminta dalam EUDR. Salah satunya adalah ketertelusuran (traceability).

“Kalau kita berbicara ketertelusuran maka kita akan berbicara sawitnya ini diproduksi di mana, oleh siapa, dan lahan siapa dan sampai di meja Uni Eropa melewati mana. Itu yang diminta EUDR. Kalau tertracing dia mau melihat apakah betul ini berasal dari lahan perambahan hutan,” tutur Prayudi.

Pada dasarnya, kata Prayudi, sistem sustainability dalam beberapa tahun terakhir sudah mulai berjalan. Pemerintah telah melakukan moratorium pemberian izin pembukaan kawasan hutan untuk pengembangan sawit.

“Ada regulasi yang mengatakan bahwa pembukaan perkebunan baru tidak dibolehkan pada lahan hutan. Nah, itu satu poin bahwa dengan regulasi pemerintah itu sudah mengarah ke sana dalam hal sustainability,” ujar Prayudi.

Terkait traceability, kata Prayudi, strategi Kementan adalah memberkuat basis data pekebun dan mempercepat penerapan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang merupakan standar mutu pengelolaan bisnis kelapa sawit berkelanjutan.

Prayudi mengatakan, Kementan telah mempunyai aplikasi Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN) yang memuat jejak rekam traceability komoditas sawit nasional. Aplikasi ini telah mendata dengan rapi 2140 perusahaan sawit.

“Di (aplikasi,Red) itu 80—90 persen perusahaan sudah terdata, tinggal kita lihat updating pelaporannya dan kita berikan kewajiban dua kali setahun melakukan pelaporan untuk perusahaan lewat aplikasi SIPERIBUN,” katanya.

Adapun yang masih menjadi tugas rumah (PR) pemerintah adalah mempercepat pendataan lahan sawit petani kecil, yang luasnya diperkirakan mencapai 48 persen dari 16,38 juta hektare total keseluruhan lahan sawit di Indonesia.

“Teknologi sekarang sudah cukup tersedia tapi kita bangsa yang besar bayangkan 16,38 juta hektare lahan sawit kita dan 48 persennya adalah pekebun rakyat dan di sinilah peran pemerintah dan paling berat adalah pendataan pekebun tadi,” kata Prayudi.

Diakui Prayudi, masih banyak kabupaten sentra produksi sawit yang belum didukung oleh jaringan yang kuat. Sementara, sistem pendataan ini tidak hanya berbicara lahan milik siapa, berapa produktivitasnya, tetapi sudah berbicara titik koordinatnya.

“Tapi, alhamdulillah regulasi kita sudah ada, tinggal mempercepat pendataan pekebun ini. Ini PR kita,” imbuh Prayudi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini