Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) berharap ada kebijakan untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanaman kakao ke depannya.
Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan, Ditjen Perkebunan, Kementan, Muhammad Rizal Ismail mengatakan, pengendalian alih fungsi lahan saat ini baru pada komoditas padi.
“Saya melihat ke depan isu itu jadi penting untuk ditata dan dikendalikan. Tentu ada kebijaka atau regulasi yang harus segera kita wujudkan,” kata Rizal kepada Majalah Hortus, Jakarta, Kamis (27/6).
Rizal melihat, jika tidak ada upaya serius pemerintah ke depan, maka lahan kakao juga akan mengalami penyusutan dari data luasana yang ada saat ini, yaitu 1.415.750 hektare.
Diketahui, luas lahan kakao di Indonesia terus menurun sejak 2017 hingga 2021, dari 1.653.116 hektare pada 2017 menjadi 1.460.396 hektare pada 2021.
“Contoh kita lihat sekarang harga karet nggak naik-naik, maka terjadi konversi lahan karet ke sawit atau ke komoditas lain. Ini besar loh dari lebih 3,4 juta hektare turun terus. Nah, kakao kalau kita lihat ada kecenderungan menurun,” kata dia.
Oleh karena itu, dia berharap pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, masalah kakao, termasuk alih fungsi lahan bisa diatasi.
Meski belum pasti komoditas apa saja yang akan menjadi fokus lima tahun ke depannya, Rizal memastikan kakao salah satukan akan dimasukkan dalam RPJMN tersebut.
“Ke depan karena nanti target 5 tahun RPJMN, kita akan benahi kakao. Mungkin nanti arahnya ke sana juga, kita akan bicara bagaimana caranya bisa mengendalikan dan menjaga potensi lahan kita yang ada,” kata dia.
Dia berharap, ada regulasi untuk mencegah alih fungsi lahan kakao, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) untuk komoditas padi.
“Pertanian Pangan Berkelanjutan itu sudah ada UU, di daerah sudah ada Perda. Semuanya itu menjadi syarat untuk mengusulkan program dan kegiatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” ujar Rizal.
“Saya pun beharap selain komoditas padi pun harus ada gitu, sehingga kita tahu paling seimbang kakao berapa hektare sih, apakah 1,4 atau kita naikin lagi atau kita kurangi, tapi kita tingkatkan produktivitasnya,” sambung dia.
Penyebab Alih Fungsi Lahan
Rizal menyebut ada banyak faktor yang melatari mengapa pekebun menebang pohon kakaonya. Akan tetapi, dari sekian banyak masalah tersebut yang paling berpengaruh adalah harga.
“Nah, ini sebenarnya banyak ya masalahnya, tetapi setau saya yang paling berpengaruh itu adalah harga,” kata peraih gelar Magister Sains pada tahun 2007.
Penerapan Good Agricultural Practices (GAP) atau praktik pertanian di sektor kakao selama ini belum optimal. Ini lantaran perkebunan kakao sebagian besar didominasi perkebunan milik rakyat.
Pekebun yang tidak menerapkan GAP, hasilnya di bawah produksi potensi. Sehingga, saat harga di bawah rata-rata ini sudah pasti tidak menguntungkan.
“Sehingga, saat ada komoditas yang harganya lebih bagus langsung diganti. Banyak di Sulawesi ditebang ditanami jagung, yang tiga bulan sudah panen harganya misalnya Rp 6-7 ribu. Luar biasa kalau dalam satu hektare bisa dapat 8 atau 7 juta ton,” kata dia.
Sebaliknya, petani yang menerapkan GAP terkait perawatan tanaman, pengaplikasian pupuk, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) hasilnya lebih optimal.
“Jadi sistem budidaya pun tergantung kondisi petani rakyat kita. Kalau petaninya mau mengembangkan teknis-teknis produksi pasti dia rawat kebunnya. Nah, dari situ pasti optimal. Kalau optimal dengan rata-rata harga pun dia masih bisa untung,” kata dia.
Mendongkrak Produksi Kakao Nasional
Rizal mengatakan, produksi kakao nasional kurang lebih 600 ribu ton per tahun dan memang produktivitasnya masih rendah kurang lebih 700 kg per hektare per tahun.
“Jadi, memang sekarang (penurunan produksi) jadi tantangan ketika harga lagi bagus-bagusnya karena di Ghana, Pantai Gading produksinya menurun dengan adanya perubahan iklim,” kata dia.
Rizal mengatakan telah melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama sentra-sentra produksi kakao, kementerian dan lembaga terkait pengembangan kakao ke depan.
“Insyallah nanti tahun depan kita akan fokus pengembangan kakao, kegiatan peremajaan, rehabailitasi, perluasan kita akan lakukan namun konsepnya harus pendekatan kawasan, wilayah, tidak hanya sektoral saja,” kata dia.
Sehingga, pengembangan kakao ke depan juga harus melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Jadi bukan Kementan saja yang bergerak, tetapi kita harus bergandengan tangan K/L yang lain, misalnya KLHK kehutanan, tantangan ke depan EUDR harus di luar kawasan hutan,” kata dia.
“Kemudian ATR/BNP di mana lahan-lahan petani kita bisa disertifikasi karena itu kan juga ada jaminan pembiayaan. Kalau dia punya sertifikat dia akan memberoleh pembiayaan kredit, KUR misalnya di perbakan,” sambung dia.
Termasuk juga pemerintah daerah juga harus terlibat dalam pengembangan kakao.
“Kalau pemerintah pusat sudah menyediakan benihnya, pupuknya, sarananya produksinya, pemerintah daerah paling nggak monitoring, evaluasi, pengawalan, dan pelaporan,” kata dia.
Upaya mendongkrak produksi dan produktivitas kakao ke depan selain perlusan area juga harus replanting mengingat sebagian besar tanaman sudah tua, di atas 20 tahun.
“Sekarang sih masih ada teknologi-teknologi sambung samping. Itu yang ke depan selain peremajaan tadi ya mungkin kita mau rehab kawasan kakao dengan pola teknologi itu,” ujar Rizal.
Ke depan, dia berharap, peningkatakan kakao tidak hanya menggunakan APBN melainkan juga menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dia juga berharap, ke depan Mars tidak hanya berkontirbusi hanya membiana dari segi produksi tapi juga kontribusi untuk jangka panjang untuk menjaga kelangsung produksi.
“Mars dia punya kaki tangan di lapangan yang membiana pentai kita. Jadi dari binaan-bianaanya itu dia ngambil produknya untuk dikelolah oleh dia. Ke depan kita berharap dia juga kontribusi juga untuk jangka panjang ,” pungkas dia.