Musim Mas berkomitmen meningkatkan kapasitas pekebun swadaya dengan menerapkan perkebunan regeneratif (regeneratif agriculture) berkelanjutan melalui program Biodiverse & Inclusive Palm Oil Supply Chain (BIPOSC).
Reza Rinaldi Mardja, Indonesia Communication Lead Musim Mas mengatakan, BIPOSC yang dimulai sejak 2021 ini merupakan program kolaborasi antara Musim Mas dengan Livelihoods Fund for Family Farming (L3F), SNV Indonesia dan ICRAF. Dari data yang ada, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2023 tercatat mencapai 16,36 juta hektar yang di mana 6,77 juta atau 41 persen di antaranya merupakan perkebunan swadaya.
“Namun, pekebun swadaya kelapa sawit di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, di antaranya adalah kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai praktik perkebunan yang baik, hasil kebun yang rendah, hingga terbatasnya akses pasar,” kat Reza dalam Media Tour ‘BIPOSC-Biodiverse and Inclusive Palm Oil Suply Chain’ Program Kolaborasi untuk mendorong Pekebun Swadaya Menerapkan Perkebunan Regeneratif Menuju Masa Depan Kelapa Sawit yang berkelanjutan, di Labuhanbatu Sumatera Utara (Sumut) 10/12/2024
Untuk itu, lanjut Reza, diperlukan dukungan dan intervensi dari sejumlah pemangku kepentingan agar para pekebun swadaya ini dapat menerapkan best management practices (BMP) untuk mengelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
“Musim Mas sebagai pelaku industri kelapa sawit saat ini sudah melakukan langkah itu melalui program BIPOSC sejak 2021 dengan memberikan pendampingan kepada para pekebun swadaya tersebut. Program itu sejatinya merupakan program lanjutan dari Indonesian Palm Oil Development for Smallholders (IPODS) yang bekerja sama dengan International Finance Corporation (IFC), bagian dari United Nation (PBB) pada tahun 2015,” kata Reza.
Musim Mas mengembangkan program peningkatan kapasitas pekebun swadaya dengan dua pendekatan yakni pelatihan secara langsung ke pekebun swadaya (Training for Smallholders) dan pelatihan untuk Penyuluh Pertanian Lapangan alias PPL (Training for Trainers: Smallholders Hub).
Reza mengatakan program BIPOCS ini berisikan pelatihan-pelatihan untuk pekebun swadaya agar bisa mencapai BMP perkebunan regeneratif.
Dalam hal ini pendampingan dan pelatihan yang dimaksud yakni meliputi pengaplikasian pupuk kompos, bio input, teknik penyusunan pelepah, penanaman land cover crop untuk melindungi kondisi tanah hingga pengendalian hama.
“BIPOSC bertujuan mencapai rantai pasok minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui penerapan praktik perkebunan regeneratif, model agroforestri yang diadaptasi secara lokal, dan perlindungan ekosistem, yang pada akhirnya juga diharapkan mampu menjadi solusi menciptakan rantai pasok minyak kelapa sawit bebas deforestasi atau penggundulan hutan,” kata Reza.
Dalam pelaksanaannya BIPOSC membina pekebun swadaya kelapa sawit yang bernaung di bawah Asosiasi Pekebun Swadaya Kelapa Sawit Labuhanbatu (APSKS LB), Sumatera Utara.
APSKS LB merupakan salah satu asosiasi yang dibina oleh Musim Mas dengan tujuan mendorong pekebun mendapatkan akses pasar dan sertifikasi dari RSPO dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Syahrianto, Ketua APSKB LB menambahkan, salah satu dampak positif yang sudah dapat dinikmati para pekebun swadaya anggota APSKS LB adalah terbangunnya Composting Unit ini.
“Dengan harga yang lebih terjangkau, mendorong para pekebun swadaya melakukan pemupukan dengan pupuk kompos,” katanya.
Selain itu, pemberian benefit untuk anggota diberikan setiap satu tahun sekali, pemberian THR, dana operasional asosiasi, peningkatan kapasitas dan keahlian anggota, memberikan jaminan sosial berupa BPJS-TK, pemberian alat bekerja sesuai standar, pemberian dana sosial untuk warga sekitar dan pengembangan aset.
Menurut Syahrianto, APSKS-LB hingga saat ini memiliki anggota 1.260 orang pekebun swadaya di dua kabupaten, delapan desa dan lima kecamatan dan sudah bersertifikasi RSPO. Sementara, 1.075 anggota pun juga sudah tersertifikasi ISPO.
Keuntungan Petani
Jansen Parte, anggota APSKS LB menuturkan setelah mengikuti pelatihan BIPOSC dirinya banyak mengetahui praktek berkebun dengan lebih baik. Bahkan, kebunnya mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan.
“Sebelum pelatihan contohnya cara menanam bibit itu saya asal tanam aja. Setelah pelatihan itu harus 40X40 cm lubang tanamnya. Hasilnya lebih bagus ternyata. Kemudian, jarak tanam juga ternyata idealnya 9×9, agar cahaya matahari bisa tetap menjangkau pohon, bukan 8X8 seperti biasa kami lakukan,” ujarnya usai pelatihan BMP Pelatihan Regeneratif.
Jansen menambahkan, pihaknya juga mengetahui kualitas bibit yang harus dibeli oleh petani jika produktivitasnya ingin lebih tinggi. Sebab, dirinya sebelumnya hanya asal beli bibit tanpa mengetahui bibit itu asli atau palsu.
“Ada cerita soal bibit, dulu saya beli bibit produksiPPKS dari merknya. Tapi ternyata separo Jantan separo betina. Ternyata palsu bibitnya. Sekarang kami tidak fokus lagi sama merk. Karena banyak logo PPKSnya palsu. Itu saya tahu setelah pelatihan,” jelasnya.
“Di samping itu, setelah mendapat pelatihan dari BIPOSC ini petani juga mendapat banyak menerima bantuan. Mulai dari peralatan pertanian, pupuk organic juga bisa dengan harga lebih murah,” tambah Jansen.
Hal yang sama juga dirasakan petani lainnya, seperti Syafi’i, petani swadaya Labuhanbatu yang hanya mempunyai 0,9 hektar lahan sawit.
Menurutnya, tantangan petani swadaya itu adalah mengubah kesadaran dan perilaku dalam perkebunan yang berkelanjutan. Padahal kata dia, dengan perilaku yang berubah produksi pun otomatis meningkat.
“Setelah mengikuti pelatihan, petani mulai penyusunan pelepah leter U, pengurangan pupuk kimia, ambil buah yang masak saja. Hal hal itu dilaksanakan pekebun. Dulu kan pupuknya asal-asalan. Asal campur-campur aja,” ujarnya.
Dia mengatakan, produktivitas kebunnya sebelum mempraktekkan Perkebunan regenerative hanya 500 kg sekali panen.“Dulu produksinya 500 kg per sekali panen dalam 10 hari. Jadi sebulan kita panen sebulan tiga kali. Cara panen itu mempengaruhi. Dulu asal panen aja, semua hajar. Karena tokenya [tengkulak] juga mau, kan,” jelasnya.
Setelah mempraktekkan praktek perkebunan regeneratif, Syafi’i mengaku saat ini produktivitasnya naik pesat hingga 100 persen.
“Dari cara pemruningan mempengaruhi. Kalau dibiarkan pelepah gondrong itu, hasilnya ternyata gak bagus. Setelah itu berubah, dari 500 kg jadi 700 kg, sekarang 800 kg. Jangka setahun berubah. Sampai sekarang tinggi, pake organic juga pupuknya. Kebetulan saya punya lembu. Kalau yang lain trek (turun) sekarang saya enggak trek-trek. Sampai sekarang saya pake kotoran ternak. Sekarang bisa 1 ton sekali panen,” ungkapnya.