Petrus Gunarso, pakar kehutanan dan lingkungan hidup mencoba membuka ruang dialog pengelolaan kekayaan hayati Indonesia dengan meluncurkan buku Konservasi Alam di Indonesia dengan memperkenalkan serial buku terbarunya, Panca Palma.
Acara tersebut digelar dalam sebuah acara di Café and Resto Sagolicious, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (22/5). Peluncuran ini turut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Wakil Menteri, serta para kolega dan sahabat dari berbagai kalangan.
Petrus mengungkapkan bahwa gagasan awal buku ini berasal dari disertasinya di University of Queensland, Australia. Ia menyoroti pentingnya konservasi jenis-jenis tanaman lokal, khususnya dari kelompok palma, yang selama ini luput dari perhatian, meskipun potensinya sangat besar bagi pembangunan berkelanjutan.
“Saya berasal dari dunia kehutanan, dan saya prihatin karena dari ratusan jenis pohon deterokarpa, belum satu pun yang dikembangkan sebagai hutan tanaman industri. Ini menyedihkan,” ujarnya dalam sambutannya.
Ia menambahkan, tanaman palma seperti kelapa sawit yang kini mendominasi industri justru berasal dari empat pohon yang dibawa Belanda dan ditanam di Kebun Raya Bogor.
Serial Panca Palma yang diperkenalkan hari ini terdiri dari lima buku: Sawit untuk Dunia dan Lingkungan, Sagu Indonesia, Kelapa Indonesia, Pinang untuk Masa Depan, dan Aren dan Potensi Ekspansinya.
Setiap buku mengangkat satu jenis palma tropis yang dianggap penting secara ekologis, ekonomi, dan kultural. Lewat buku ini, Petrus ingin mengajak publik untuk memahami bahwa tanaman-tanaman tersebut adalah kekayaan Indonesia yang harus dikenali, dilindungi, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Menariknya, meskipun berlatar belakang kehutanan, Petrus kini bekerja di sektor energi, tepatnya di Pertamina Gas.
Ia mengisahkan bagaimana limbah dari kelapa sawit (POME) dapat menghasilkan gas hijau yang diekspor ke Singapura. “Saya tidak punya kebun sawit, apalagi sagu. Tapi saya ingin anak cucu saya tahu bahwa tanaman-tanaman ini adalah bagian dari identitas bangsa kita,” ungkapnya.
Buku Swit untuk Dunia dan Lingkungan juga terinspirasi dari keterlibatannya dalam membela Indonesia dalam sengketa dengan Uni Eropa di WTO terkait tuduhan deforestasi akibat sawit.
“Selama tiga tahun kami bergulat, dan buku ini adalah bagian dari upaya memberi narasi lain—bahwa sawit juga punya sisi keberlanjutan,” tuturnya.
Dalam seri Sagu Indonesia, Petrus menyoroti luas lahan sagu mencapai 1,5 juta hektare yang potensinya belum tergarap maksimal.
Sementara di buku tentang kelapa, ia mengkritik tingginya angka ekspor tanpa keberpihakan pada petani lokal.
Buku tentang pinang menyoroti kerusakan lingkungan akibat penebangan besar-besaran saat perayaan hari kemerdekaan setiap tahun. Terakhir, buku Aren mengajak masyarakat untuk mempertanyakan ekspansi besar-besaran aren seluas 2 juta hektare dan siapa yang akan paling diuntungkan.
Petrus berharap kehadiran serial Panca Palma bisa membuka ruang dialog baru soal pengelolaan kekayaan hayati Indonesia. Ia juga mengkritik ketimpangan dalam kebijakan konservasi yang selama ini lebih fokus pada perlindungan satwa, namun melupakan tanaman asli Indonesia.
“Kita sering bicara soal hewan yang dilindungi, tapi tanaman jarang sekali mendapat perhatian, apalagi anggaran untuk pelestariannya,” jelanya.
Sawit Telah Menolong Dunia, Itu Fakta!
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menegaskan pentingnya pendekatan budidaya sebagai jalan tengah antara konservasi in situ dan ex situ dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
Menurutnya, budidaya bukan hanya solusi konservasi, tetapi juga menjadi model sukses yang sudah terbukti pada industri kelapa sawit. “Dulu hanya empat butir sawit ditanam di Kebun Raya Bogor. Dari sana, Indonesia menghasilkan lebih dari 70 varietas unggul, menjadikannya produsen sawit terbesar di dunia,” jelas Tungkot.
Ia menilai, langkah Petrus Gunarso yang memperkenalkan lima jenis palma tropis—sawit, aren, sagu, kelapa, dan pinang—adalah terobosan penting dalam membangun masa depan berkelanjutan yang berbasis plasma nutfah lokal. “Indonesia memang eksportir pinang terbesar, tapi masih mengandalkan hasil hutan liar, belum dari budidaya. Ini PR besar,” tambahnya.
Lebih lanjut, Tungkot menjelaskan bahwa kelapa sawit memiliki multifungsionalitas luar biasa yang jarang dipahami publik. Dari segi lingkungan, sawit bukan hanya menyerap karbon dioksida secara efektif, tetapi juga menciptakan jutaan biopori di tanah yang menyimpan air dan bahan organik, memperbaiki kualitas tanah secara alami.
“Justru sawit, karena produktivitasnya yang sangat tinggi, menggunakan lahan jauh lebih sedikit dibandingkan tanaman minyak nabati lain seperti kedelai. Dunia tanpa sawit akan memaksa deforestasi jauh lebih masif,” ujarnya.
Tungkot juga menyebut bahwa meskipun Uni Eropa kerap mengkritik industri sawit Indonesia, negara-negara tersebut justru menikmati manfaat ekonomi besar dari produk sawit. “Mereka olah lagi, diberi nilai tambah, dan dinikmati setiap tahun. Jadi sebetulnya Indonesia membagi kue bagi dunia,” ujarnya.
Tak hanya itu, industri sawit global menciptakan lapangan kerja tidak hanya di Indonesia, tapi juga di India, Cina, dan Eropa. “Sawit adalah minyak nabati untuk dunia. Kita ini telah menolong dunia, dan itu fakta.”
Menutup sambutannya, Tungkot menyatakan harapannya agar palma tropis lainnya seperti aren, sagu, kelapa, dan pinang juga bisa menjadi solusi pangan dan energi dunia. “Kita tunggu kontribusi empat palma lainnya. Ini bukan hanya soal tanaman, ini tentang masa depan ekologi dan ekonomi dunia yang lebih adil,” tutupnya.