Perkebunan Sawit Perlu Keseimbangan Baru

0

 Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Darmono Taniwiryono menyatakan, pengembangan perkelapasawitan Indonesia telah berjalan selama 174 tahun perlu keseimbangan baru.

Hal ini terjadi setelah perkebunan kelapa sawit rakyat mulai berkembang pesat mengalahkan perkebunan negara dari segi luasannya.

“Sawit kini diusahakan oleh negara, swasta dan rakyat. namun dalam perjalanan tersebut terjadi pertumbuhan yang tidak seimbang di antara ketiganya,” kata Darmono, pada acara Simposium dan Focus Group Discussion Perkelapasawitan Indonesia 2022 di Yogyakarta, Sabtu (14/5/2022).

Dampak dari ketidakseimbangan, kata dia, baru dirasakan oleh bangsa Indonesia saat ini. Ketidak seimbangan tersebut paling tidak terdapat di dalam dua hal.

Pertama ketidakseimbangan kepemilikan lahan perkebuan, di mana nampak sekali kepemilikan lahan perkebunan negara tidak berkembang. Kekuatan negara untuk mengatur usaha sawit nasional memerlukan dominasi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit. Apalagi tidak dipungkiri lagi Indonesia adalah negara agraris.

Lebih lanjut tutur Darmono, kedua ketidakseimbangan teknologi produksi, di mana teknologi produksi CPO hanya dimiliki oleh perkebunan-perkebunan besar dan teknologi produksi hilir utama (biodiesel dan minyak goreng) 100% hanya dimiliki oleh perusahaan swasta.

Faktanya pada saat ini, bila dikatakan produk CPO, PKO dan produk-produk turunannya itu sebuah kue ulang tahun sawit Indonesia yang ke 174 tahun, maka pemilik kue tersebut 100% adalah perusahaan swasta. Yang berhak memotong-motong dan membagi-bagi kue tersebut adalah pemilik kue yang besarnya 50 juta ton,” ungkapnya.

Wajar bilama mana akhir-akhir ini tersirat dan terucap adanya imbalance of power yang terjadi di dunia perkelapasawitan di Indonesia. Ini pada akhir gilirannya Indonesia yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas dan merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bisa kalah dengan Malaysia dalam mengambil peran sebagai negara adidaya sawit.

Menurut Darmono, keruwetan yang terjadi dalam penyediaan minyak goreng sawit di Indonesia yang kemudian diikuti dengan keputusan menyetop ekspor CPO, RBD Palm Oil dan RBD Palm Olein, adalah merupakan dampak dari terjadinya ketidakseimbangan kepemilikan lahan sawit dan teknologi di atas.

Produksi TBS petani yang nampak mubazir saat ini, karena tidak terserap PKS, merupakan akibat dari tidak disiapkannya teknologi produksi CPO yang cocok untuk rakyat sejak 36 tahun lalu, yang rata-rata kepemilikannya hanya 2 hektar per petani,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini