Industri kelapa sawit Indonesia, pilar besar ekonomi nasional, tengah berpacu memenuhi tuntutan global tentang keberlanjutan. Salah satu langkah penting terlihat dalam pelatihan auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang digelar PT Sumberdaya Indonesia Berjaya (SIB). Lembaga pelatihan ini kembali menggelar programnya untuk angkatan ke-13, dengan tujuan memperkuat sumber daya manusia di sektor sawit.
Pembina PT SIB, Achmad Mangga Barani, menegaskan pentingnya peran auditor ISPO saat membuka pelatihan yang berlangsung daring pada Selasa, 26 Agustus 2025. Ia menyebut sertifikasi ISPO kini bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020. “Setiap perusahaan minimal harus memiliki dua auditor internal,” ujarnya.
Menurutnya, fungsi auditor tidak berhenti pada urusan administratif. Mereka adalah garda depan yang memastikan praktik berkelanjutan benar-benar dijalankan di lapangan. “Tugas auditor adalah menilai kesiapan kebun memperoleh sertifikat ISPO sekaligus mengawasi konsistensi penerapan prinsip keberlanjutan,” kata Mangga Barani.
ISPO, sistem sertifikasi nasional yang lahir dari kebutuhan menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, kini menjadi instrumen penting daya saing. Dengan keberadaan auditor kompeten, perusahaan lebih siap menghadapi audit eksternal dan lebih mudah mendapat pengakuan internasional. “Setelah lulus, peserta bisa menjadi auditor internal atau bergabung dengan lembaga sertifikasi. Itu mempercepat akses ke pasar global,” tambahnya.
Kewajiban sertifikasi ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020. Semua perusahaan dan pekebun wajib mengajukan sertifikasi, dengan masa transisi lima tahun bagi pekebun kecil. Pemerintah berharap langkah ini memperkuat citra sawit Indonesia yang selama ini kerap digugat isu lingkungan.
PT SIB sendiri bukan pemain baru. Melalui SK Dirjen Perkebunan No. 69/Kpts/OT.050/2/2021, lembaga ini ditunjuk resmi menyelenggarakan pelatihan auditor ISPO. Para pengajarnya memiliki pengalaman panjang dalam mendampingi sertifikasi. “Peserta yang memilih PT SIB sudah tepat. Karena berpengalaman melahirkan auditor-auditor yang handal dan kompeten,” kata Mangga Barani.
Pelatihan kali ini dengan model hybrid: sesi daring berlangsung 26–28 Agustus, sedangkan praktik lapangan dijadwalkan 8–10 September di Kebun Sei Pagar PTPN V, Riau.
Bagi Mangga Barani, program ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan investasi jangka panjang. Industri sawit, katanya, tidak bisa lagi hanya mengandalkan produksi. “Daya saing di masa depan ditentukan oleh bukti bahwa praktik kita berkelanjutan,” ujarnya.
Dengan 13 angkatan yang telah berjalan, PT SIB menegaskan komitmennya memperkuat fondasi ISPO. Harapannya, sertifikasi bukan hanya formalitas, tapi cermin transformasi sawit Indonesia menuju industri yang berdaya saing sekaligus berkelanjutan.

Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri, menjelaskan bahwa industri kelapa sawit masih menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sebagai industri padat karya, jutaan masyarakat menggantungkan hidup dari sektor ini, mulai dari petani kecil hingga pekerja di pabrik pengolahan.
“Pertumbuhan industri sawit berperan penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar Kuntoro.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, total nilai ekspor sawit sepanjang 2024 mencapai Rp440 triliun. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan ekspor migas yang hanya Rp246 triliun. Artinya, sawit menyumbang 54 persen dari ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia.
Lebih jauh, industri sawit membuka lapangan kerja dalam skala besar. Setidaknya terdapat 4,2 juta lapangan kerja langsung dan 12 juta lapangan kerja tidak langsung yang tercipta. Dari jumlah tersebut, sekitar 41 persen merupakan petani kecil, dengan total 2,3 juta unit usaha perkebunan yang mampu menyerap 4,6 juta pekerja.
Tidak hanya berkontribusi pada ekspor dan tenaga kerja, sawit juga berperan dalam penghematan devisa. Melalui program mandatori biodiesel yang berjalan sejak Agustus 2015 hingga April 2018, Indonesia berhasil menghemat devisa sebesar USD 2,26 miliar atau setara Rp30 triliun.
Dari sisi produktivitas, sawit terbukti jauh lebih unggul dibanding minyak nabati lainnya. Produksi minyak sawit dapat mencapai 4 ton per hektare, sedangkan rapeseed hanya 0,7 ton, bunga matahari 0,6 ton, dan kedelai sekitar 0,4 ton per hektare. Dengan kata lain, untuk menghasilkan jumlah minyak nabati yang sama, sawit membutuhkan lahan jauh lebih sedikit dibandingkan komoditas lain.
Namun, di balik kontribusi besar itu, industri sawit masih menghadapi sejumlah tantangan. Produktivitas rata-rata nasional baru mencapai 3,8 ton per hektare per tahun, padahal potensi idealnya bisa menembus 5–6 ton. Pemanfaatan produk samping dari kelapa sawit juga belum optimal.
Dari sisi tata kelola, masih ada indikasi sekitar 3 juta hektare kebun sawit berada di dalam kawasan hutan, sementara sebagian kebun belum memiliki legalitas lengkap seperti sertifikat hak milik (SHM), hak guna usaha (HGU), maupun Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Tak hanya itu, gangguan usaha, konflik lahan, serta hambatan perdagangan berupa tarif bea masuk tinggi, kebijakan antidumping, hingga isu food safety juga terus membayangi.
Di kancah global, industri sawit Indonesia masih sering menghadapi tekanan berupa kampanye negatif, terutama dari Uni Eropa yang kerap menyoroti aspek lingkungan. Padahal, menurut Kuntoro, potensi sumber daya sawit belum tergarap maksimal, termasuk pengembangan energi terbarukan berbasis biohidrokarbon.
“Dengan produktivitas yang lebih tinggi dan pemanfaatan sumber daya yang optimal, sawit bisa terus menjadi motor pertumbuhan ekonomi hijau Indonesia,” kata Kuntoro.
Ratna Sariati, Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan, Kementan menambahkan, ISPO bukan hanya tanda formalitas. Ini adalah bukti tertulis bahwa kebun sawit dikelola secara layak dari sisi ekonomi, sosial budaya, ramah lingkungan, serta sesuai peraturan perundang-undangan.
Ratna menjelaskan, dasar hukum ISPO merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 2, 3, dan 62. Aturan itu kemudian dijabarkan dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2020, yang kini diperbarui menjadi Perpres Nomor 16 Tahun 2025.
Pembaruan regulasi tersebut memperluas ruang lingkup sertifikasi, dari sebelumnya terbatas di perkebunan hulu kini mencakup industri olahan dan sektor bioenergi. Dengan begitu, tanggung jawab implementasi ISPO tidak lagi hanya berada di Kementerian Pertanian, tetapi juga melibatkan Kementerian Perindustrian untuk sektor hilir dan Kementerian ESDM untuk bioenergi.
“Perubahan ini juga dibarengi dengan restrukturisasi kelembagaan dan skema pembiayaan baru. Pembiayaan ISPO untuk pekebun kini bisa difasilitasi melalui APBN, APBD, maupun Badan Pengelola Dana Perkebunan,” kata Ratna.
Ia menekankan bahwa kepatuhan terhadap standar ISPO bersifat wajib. Pelaku usaha yang tidak mematuhinya berpotensi dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran, denda, hingga penghentian sementara kegiatan usaha.
“Sekarang kami juga sedang menyusun pembaruan dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia,” tambah Ratna.
Aturan baru itu akan menjadi turunan dari Perpres Nomor 16/2025 yang baru diterbitkan, menggantikan Permentan 38/2020 yang sebelumnya merujuk pada Perpres 44/2020.
“Dengan landasan regulasi yang semakin kuat, pemerintah berharap ISPO mampu memperkuat daya saing industri sawit Indonesia sekaligus memastikan praktik usaha perkebunan yang berkelanjutan dari hulu hingga hilir,” pungkasnya.






























