Kelapa sawit, selain dikenal sebagai tulang punggung ekonomi nasional, juga mendapat sorotan karena sifatnya sebagai tanaman zero waste.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono, mengungkapkan bahwa semua bagian dari tanaman kelapa sawit memiliki kegunaan.
Dari tandan buah segar (TBS), dihasilkan minyak yang bisa diolah menjadi minyak goreng dan biodiesel. Sisa dari TBS, yaitu palm kernel, juga menghasilkan minyak berkualitas tinggi. Bahkan, janjang sawit bisa digunakan sebagai pupuk, dan limbahnya dapat diekspor dalam bentuk Palm Oil Mill Effluent (POME).
“Kelapa sawit sebenarnya merupakan tanaman zero waste karena semua bagian dari tanaman ini bisa dipakai,” kata Mukti pada sebauah workshop di Hotel Grand Senyiur Balikpapan, Kamis (25/7).
Mukti menyebutkan, luas kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,3 juta hektare, dengan kontribusi devisa negara mencapai USD 30 miliar. Angka ini cuman kalah dari batu bara.
“Tapi kelapa sawit jauh lebih unggul karena produksinya terus ada. Dari awal kali menanam, setidaknya hingga 25 tahun ke depan akan terus menghasilkan,” ujar Mukti.
Menurut Mukti, sumbangsih ini akan lebih besar karena pemerintah menggalakkan pencampuran biodiesel ke solar yang saat ini sudah mencapai 35 persen atau B35.
Berdasarkan catatan Gapki pada 2023, implementasi B35 berkontribusi menyerap 11 juta ton minyak mentah atau crude palm oil (CPO).
Kemudian, Presiden terpilih Prabowo Subianto berkomitmen untuk meningkatkan pencampuran biodiesel menjadi B50, yang berpotensi menyerap hingga 14 juta ton CPO.
“Kalau terwujud, serapan CPO buat nasional bisa mencapai 14 juta ton. Dampaknya bakal bagus buat kedaulatan energi,” terang Mukti.
Sardjono menambahkan, kelapa sawit juga mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, dengan banyak daerah berkembang berkat industri ini, seperti Paser, Kalimantan Timur.
Indonesia kini menjadi eksportir dan konsumen terbesar, yang membuat negara-negara Eropa khawatir terhadap kompetisi dengan minyak nabati mereka sendiri.
“Sekarang ini ekspor kita ke Eropa masih surplus. Salah satu yang berkontribusi besar adalah kelapa sawit. Ini membuat khawatir karena minyak nabati yang mereka produksi bisa kalah bersaing. Seperti minyak bunga matahari,” ungkap dia.
Untuk membantah tudingan bahwa kelapa sawit merusak lingkungan, Gapki mendorong penerapan tata kelola berkelanjutan melalui sertifikasi.
“Pelaku usaha tidak bisa semena-mena. Harus mengantongi izin perkebunan juga HGU. Ini semacam SIM kalau kita berkendara. Jadi harus ada surat izinnya. Setelah ada, baru bisa memproses pembibitan dan menanam,” kata dia.
Mukti mencatat, dari 700 perusahaan yang tergabung dalam Gapki, 678 perusahaan telah mengantongi sertifikat, dengan target komitmen 100 persen perusahaan memiliki sertifikat.