Minyak kelapa sawit Indonesia akhir-akhir ini disebut mengalami penurunan produktivitas yang bakal mengancam eksistensi komoditas unggulan ini dan berdampak pada perekonomian nasional ke depannya.
Sejumlah solusi pun ditawarkan sejumlah pakar mulai dari replanting hingga tata kelola Perkebunan yang lebih baik agar mengerek produktivitas sawit nasional.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar bertema “Produktivitas Sawit Turun, Bagaimana Solusinya?” di 2nd Sawit Indonesia Expo and Conference (SIEXPO) 2024 di Pekanbaru Convention and Exhibition (Ska-Coex), Riau, Jumat (9/8/2024). Adapun pembicara yang hadir di antaranya, Dr. Rusman Heriawan, S.E., M.Si, Wakil Menteri Pertanian (2011-2014), Ir. Achmad Fathoni, Prof. Didik Hadjar Gunadi Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia dan pengurus GAPKI Ruli Wandri yang juga Head of Agronomy Research PT Sampoerna Agro, Tbk.
Untuk diketahui, produktivitas sawit Indonesia berdasarkan Statistic Perkebunan Unggulan Nasional memang stagnan. Misalnya pada 2020 produksinya sebesar 45,7 juta ton (14,5 juta ha), 2021 sebesar 45,121 juta ton (15,6 juta ha), 2022 sebesar 45,8 juta ton (16,8 juta ha), dan 2023 sebesar 48,2 juta ton (16,8 juta ha).
Ruli Wandri mengatakan GAPKI melakukan beragam sejumlah upaya agar menyetop penurunan atau stagnasi produktivitas sawit ini.
Di antaranya, mengeksplorasi pencarian bibit unggul atau plasma nutfah dan serangga baru (laeidobius kamerunicus faust) ke negara-negara Afrika.
“Tahun ini tim dari GAPKI sudah eksplorasi ke Tanzania dan Nigeria untuk mencari plasma nutfah baru sehingga competitivnes sawit Indonesia 10-20 tahun ke depan tetap bisa bertahan. Ke depan kita akan ke benua Amerika seperti Kolombia, Panama dan Kolombia,” ujar Ruli dalam acara tersebut.
Untuk selanjutnya, GAPKI juga akan mengeksplorasi pencarian bibit unggul ke benua Amerika seperti Honduras, Madagaskar, Panama, dan Kolombia.
Kemudian, GAPKI bersama ITB telah melakukan percobaan terhadap pupuk organik semua jenis untuk menggenjot produksi di tengah terbatasnya pupuk kimia. Dia berharap ke depan GAPKI mengeluarkan rekomendasi terkait penggunaan pupuk organik tersebut.
“Kami juga Menyusun penangangan Ganoderma dan bagaimana perluasan mekanisasi sawit yang saat ini masih parsial. Sebenernya planter tidak berdiam diri, sudah dicoba semua. Tapi ada masalah soal efektivitasnya,” ungkapnya.
Ir. Achmad Fathoni mengungkapkan Indonesia bisa menjadi negara net importir sawit jika tidak ada upaya untuk mengatasinya. Dia menyampaikan, penurunan produktivitas ini lantaran Indonesia memiliki hampir 75 persen tanaman sawit tua.
“Maka PSR tidak bisa engga, wajib. Perusahaan perusahaan besar wajib memikirkan, jangan mentang-mentan harga naik tunda dulu, tidak bisa. Karena akan mempengaruhi bisnis sawit baik korporasi maupun kebun rakyat. Kalau tidak serius diatasi jadi masalah. Ini hukum alam,” ujarnya.
Selain masalah PSR, Fathoni mengatakan, bahwa penggunaan bibit yang berkualitas rendah bahkan palsu hingga pengelolaan kebun tidak terstandar juga jadi penyebab ambruknya produktivitas sawit, khususnya perkabunan rakyat.
“Kalau beli bibit gak jelas sudah tidak jelas. Harusnya 24 persen rendemennya mungkin Cuma 11 persen. Lalu persiapan lahan itu harus tepat. Karena sekali salah 30 tahun dan itu etiolasi, buah gak ada. jadi seperti nanam sampah kita,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertaniani (periode 2011-2014) Dr. Rusman Heriawan berpandangan bahwa produktivitas sawit nasional secara aktual sebenarnya stabil.
“Kalau kasus per kasus ya bisa saja turun tiap perusahaan. Tapi secara makro tidak turun, tetap stabil,” ucapnya.
Akan tetapi, menurut Rusman, stabilitas produksi sawit Indonesia di level rendah yang jauh dari potensinya. Menurunya, potensinya produktivitas sawit Indonesia belum tercapai.
“Yang menjadi tantangan ke depannya bagaimana meningkatkan produktivitasnya itu. Presiden pas acara PSR, minta 8 ton lah produtivitasnya. Tapi gak nyampelah, kita tuh paling 4 ton. Tapi 2x lipat perlu penataan luar biasa. Perlu bertahap dsb,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik dari 2006 sampai 2011 itu.
Oleh karenanya, dia mengusulkan agar pelaku usaha lebih berfokus meningkatkan potensi produktivitas sawit dibanding mendorong ekspansi lahan.
“Ekspansi lahan boleh tapi ruang yang sangat besar di Indonesia itu adalah pada peningkatan produksi,” tegasnya.
Dia juga mengatakan, tren sustainability juga harus terus didorong karena hal itu berdampak juga pada pelaku Perkebunan sawit ke depannya.
“Itu selalu menempel pada kegiatan bisnis sawit. termasuk pada pemanasan global dsb. Ini tantangan,” jelas Rusman.