Petani teh berharap pemerintah kembali melaksanakan Gerakan Nasional Perbaikan Mutu dan Produksi Teh (Gernas Teh) guna memperbaiki kondisi teh nasional. Apalagi konversi ke komoditi lain terus mengancam keberlangsungan teh sebagai salah satu komoditi penghasil devisa.
Hal tersebut disampaikan Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo) Nugroho B. Koesnohadi dalam diskusi ‘Strategi Pengembangan Agribisnis Teh Dalam rangka meningkatkan Ekspor 4 Kali’ 27/2 di Gedung PIA Jakarta.
Menurut Nugroho, dari data yang ada sekitar 40% tanaman teh di perkebunan yang dikelola petani rakyat telah memasuki usia tua dengan produktivitas yang menurun. Padahal, luas kebun rakyat menyumbang 43-46% dari total kebun teh secara nasional yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 hanya mencapai 114.000 hektar (ha.
“Akibat tanaman yang sudah tua, produktivitas kebun teh nasional hanya berkisar 1 ton/ha/tahun—1,2 ton/ha/tahun. Padahal potensinya bisa mencapai 3 ton per ha,” kata Nugroho.
Sehingga untuk membalikkan keadaan menuju peningkatan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 5 tahun ke depan, diperlukan program intensifikasi, rehabilitasi, dan ekstensifikasi dalam waktu yang bersamaan yang membutuhkan biaya yang cukup besar.
Nugroho menjelaskan, kondisi perkebunan teh rakyat sangguh memprihatinkan. Padahal, luas area perkebunan teh rakyat mencapai 52.156 hektar (ha) atau 50 persen dari total luas kebun teh nasional, lebih luas dibandingkan dengan perkebunan milik negara (26.788 ha) dan swasta (25.476 ha).
“Balik luasnya perkebunan teh milik rakyat, terbesit beberapa persoalan mendasar, salah satunya adalah dari sisi produksi daun teh kering. Meski berstatus sebagai kebun teh terluas, daun teh yang dihasilkan hanya mencapai 35 persen (49.269 ton) dari total produksi teh nasional pada 2018 lalu. Produksi kebun teh rakyat lebih kecil dibandingkan dengan kebun milik negara yang menyumbang 39 persen (54.555 ton) dari total produksi daun teh kering dalam negeri,” jelas Nugroho.
Secara rata-rata, jumlah produksi teh dari perkebunan rakyat per satuan hektar juga lebih kecil jika dibandingkan dengan perkebunan milik negara maupun swasta. Pada 2018 lalu, perkebunan teh rakyat dari tanaman menghasilkan (mature) memproduksi 1,4 ton daun teh kering per hektar.
Rata-rata teh yang dihasilkan ini lebih rendah dibandingkan dengan kebun teh milik negara (1,8 ton/ha) dan milik swasta (1,5 ton/ha).
Untuk mengatasinya, Nugroho berharap pemerintah kembali melaksanakan Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN) demi mendongkrak produktivitas menjadi 2,5 ton/ha/tahun.
Bahkan Nugroho mengusulkan, agar lebih masih GPATN dirubah menjadi Gerakan Nasional Perbaikan Mutu dan produktifitas Teh (Gernas Teh).
Ketua Umum Dewan Teh Indonesia (DTI) Rachmad Gunadi menambahkan, penerapan Gernas Teh mirip seperti Program Gernas Kakao yang pernah dilakukan Kementerian Pertanian beberapa waktu lalu, yakni;
Pertama, penyediaan (pemberian bantuan) bibit unggul teh yang lebih tahan kekeringan/kemarau dan berproduktivitas tinggi, pemberian bantuan pupuk/sarana produksi bagi para Petani Teh Indonesia. Dan, Pelatihan Teknik Budidaya Teh yang baik (Good Agriculture Practices).
Kedua, merubah kebijakan tentang penerapan PPN 10% yang dinilai sangat memberatkan/merugikan petani teh dan pelaku agribisnis teh lainnya menjadi PPN 0% atau PPN tidak dipungut.
Ketiga, meningkatkan Bea Masuk (import duty) teh curah dari 20% menjadi 40%; mengingat import duty Bangladesh 89%, India 114%, Turki 145%, dan Vietnam 50% guna menekan impor teh.
Selanjutnya yang keempat, pemerintah Daerah agar dapat menetapkan UMR khusus untuk sektor perkebunan UMSP agar selalu lebih rendah dari UMR yang ditetapkan di sektor industri guna menekan biaya produksi teh agar terhindar dari kerugian.
Kelima, penyediaan pinjaman lunak dan dapat diakses oleh para Petani Teh : Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Keenam, melanjutkan kebijakan dan meningkatkan intensitas Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN). Dan yang ke tujuh, meningkatkan daya saing produk Perkebunan Teh Rakyat untuk menjadi komoditas ekspor dengan melakukan kerjasama dengan POLA KEMITRAAN.
“Gernas teh terdiri dari intensifikasi, rehabilitasi, replanting atau penanaman kembali dan tanam baru atau ekstensifikasi akan menelan anggaran yang cukup besar yakni, Rp 2,670 Triliyun yang berasal dari; Swadaya Petani Teh Rakyat, Kredit Usaha Rakyat (KUR), APBN, APBD I dan APBD II,” jelasnya.
Untuk intensifikasi (25% TM) direncanakan akan mencakup luasan; 9,657 ha dengan rencana anggaran Rp 144 miliar. Kemudian untuk rehabilitasi (75% TM) seluas 28,971 ha dengan anggaran rencana anggaran Rp 796 miliar.
Selanjutnya untuk replanting (100 % Damaged) seluas 13,903 ha dengan rencana anggaran sebesar Rp 1,4 triliun. Dan penanaman baru mencapai 55,9 ha dengan rencana anggaran sebesar 337,8 miliar. Berikut ini data GPATN yang telah berjalan.
- Tahun pertama 2014, APBN (Kementan Rp 48 Milyar : intensifikasi dan rehabilitasi 3.200 Ha kebun teh petani di Jawa Barat;
- Tahun 2015 APBN Rp 42 Milyar : intensifikasi dan rehabilitasi 3.215 Ha perkebunan teh rakyat di Jawa Barat;
- Tahun 2016 APBN Rp 21,5 Milyar : intensifikasi dan rehabilitasi perkebunan teh rakyat di Jawa Barat, seluas 3.000 Ha.
- Tidak 2017 tidak ada bantuan APBN ,karena adanya penghematan anggaran secara nasional.
- Total bantuan APBN Kemtan kepada GPATN 2014- 2017 berjumlah Rp 111,5 Milyar, dengan perbaikan kebun teh petani seluas 9.350 Ha di Jawa Barat.
- Tahun 2018, Ditjen Perkebunan, Kem.Pertanian telah mengalokasikan dana APBN untuk memperbaiki perkebunan teh rakyat 1.250 Ha, yaitu : di Jawa Barat 1.000 Ha untuk intensifikasi; dan di Jawa Tengah dan DI Jogyakarta 250 Ha, untuk rehabilitasi kebun teh rakyat..
GPATN ini diprakarsai DTI beberapa tahun lalu dan saat itu dilaksanakan dengan membentuk koperasi klaster yang merupakan gabungan petani teh dengan lahan kelolaan seluas 300 ha kebun teh rakyat. Namun, gaung dari gerakan tersebut saat ini sudah jarang terdengar.
“Selama 2014 sampai 2019 baru sepertiga dari sekitar 52.000 hektare kebun rakyat yang direhabilitasi lewat GPATN [Gerakan Penyelamatan Teh Nasional]. Jika bisa diremajakan semua dan produktivitas meningkat menjadi 2 ton per hektare, produksi bisa naik dan mungkin akan terasa pada 2024, namun tidak tiga kali lipat,” paparnya.