Peluang industri gula di Indonesia masih menjanjikan di masa mendatang. Efisiensi di industri gula menjadi kunci agar industri ini memiliki daya saing dan memenangkan persaingan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Agus Pakpahan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Peningkatan Daya Saing Industri Berbasis Tebu dalam Menghadapi Era yang Semakin Kompetitif” di Surabaya, baru-baru ini.
Menurut Agus, peluang industri gula masih menjanjikan terutama yang memiliki daya saing. Selama biaya tinggi, industri gula di tanah air tidak akan bisa bersaing. “Kalau kita mau selamat, harus bisa menahan biaya,” tukasnya.
Caranya, lanjut Agus, melakukan penekanan terhadap biaya yang dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas kebun, memperbaiki efisiensi tebang muat angkut, efisiensi pabrik dan menciptakan produk baru. Penyelenggaraan FGD bertujuan untuk lebih menyegarkan pengetahuan anggota bagaimana kondisi di lapangan serta kebijakan yang akan ditempuh pemerintah.
”Peneliti ini kan yang ada di lapangan. Kita berharap dari diskusi ini untuk menyegarkan pengetahuan kita,” ujarnya.
Agus menjelaskan, saat ini industri gula mengalam berbagai kendala, di antaranya, menurunnya luas perkebunan tebu di Indonesia. Pada tahun 2014, luas lahan perkebunan tebu masih berada di angka 478.108 hektar. Namun pada 2017, lahan tebu tersisa 453.456 hektar. Ada penurunan luas areal lahan hingga 24.652 hektar lahan dalam 3 tahun.
Dari pengamatannya, lanjut dia, pabrik gula Indonesia terus mengalami kekurangan pasokan tebu. Masalahnya memang keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebunya tidak homogen. Artinya, ada tempat yang kelebihan pasokan tebu, ada pula yang kekurangan.
“Secara umum sekarang kekurangan bahan baku karena terjadi penurunan luas area tanam,” ujarnya lagi.
Selain itu, kata Agus, masalah utamanya karena kebijakan yang ada tak mampu membuat petani bergairah untuk menanam. Melihat catatan ke belakang, kinerja pabrik gula di Indonesia sempat mencapai titik terendah pada tahun 1998 dengan produksi hanya mencapai 1,49 juta ton.
“Dengan kondisi ini, tak heran belakangan, pabrik gula pun akhirnya terdorong untuk menyerap impor raw sugar untuk mengoptimalkan utilitas pabriknya,” tandasnya.
Perlu diketahui, daya saing industi gula Indonesia terbilang rendah bila dibandingkan dengan sejumlah negara lain di kawasan Asia Tenggara. Bahkan ada tebu petani tidak mampu diserap pabrik gula di dalam negeri.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, peningkatan produktivitas gula nasional melalui nilai rendemen tebu sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu.
Kepala Penelitian CIPS, Hizkia Respatiadi mengatakan, hingga pertengahan 2018, tingkat ekstraksi tebu di Indonesia hanya 7,50%. Angka itu berada di bawah Filipina (9,20%) dan Thailand (10,70%).
Jika ketiga negara tersebut memproduksi gula dalam jumlah yang sama, Indonesia perlu panen 22,67% lebih banyak daripada Filipina dan 42,67% lebih banyak daripada Thailand.
”Sebagai contoh, jika Indonesia, Filipina, dan Thailand masing-masing perlu memproduksi satu juta ton gula, Indonesia perlu panen sekitar 13,3 juta ton tebu, sementara Filipina hanya perlu panen 10,8 juta ton dan Thailand hanya membutuhkan 9,3 juta ton,” kata Hizkia.
Peningkatan nilai rendemen dapat dilakukan salah satunya melalui efisiensi pabrik gula. Untuk itu, diperlukan upaya nyata untuk merevitalisasi pabrik gula yang ada di Indonesia. Pabrik gula di Indonesia umumnya sudah berusia ratusan tahun karena sudah beroperasi sejak pendudukan Belanda di Indonesia. Selain itu petani juga butuh ketersediaan benih dan pupuk yang berkualitas baik.
Selama 10 tahun belakangan ini, produktivitas gula tidak pernah mengalami perubahan secara signifikan. Tidak berhasilnya program revitalisasi ini menyebabkan petani tebu tidak memiliki kemampuan bersaing atau competitive advantage yang memadai, baik dalam hal memenuhi permintaan maupun bersaing dengan produk impor.
Mekanisme impor yang efektif juga merupakan langkah yang benar untuk menjamin ketersediaan permintaan dan menekan harga agar tidak terlalu tinggi. Namun kenyataannya, rata-rata harga gula nasional tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan rata-rata harga internasional.
Hal tersebut menggambarkan bahwa usaha pemerintah untuk membuat harga gula lebih terjangkau tidak efektif. Untuk itu, perlu adanya evaluasi dan dilakukan peningkatan efisiensi, baik secara on farm dan off farm harus jadi prioritas utama.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), produktivitas tebu nasional cenderung menurun. Pada 2010, produktivitas tebu nasional mencapai 78,2 ton per hektar dan menurun cukup tajam di 2011 menjadi 66,7 ton per hektar. Produktivitas tebu nasional kembali meningkat pada 2012 menjadi 71,9 ton per hektar.
Pada 2013, produktivitas tebu nasional meningkat menjadi 73,2 ton per hektar dan kembali menurun pada 2014 menjadi 66,1 ton per hektar. Produktivitas gula nasional mengalami kenaikan menjadi 66,7 ton per hektar dan bertambah pada 2016 menjadi 68,3 ton per hektar.
Terkait penyerapan gula dari petani, pemerintah sebenarnya berniat untuk menjaga stabilitas persediaan sekaligus harga gula. Sistem ini, kata dia, sebenarnya efektif apabila informasi yang didapatkan dan dipublikasikan akurat. Pasalnya informasi seputar suplai dan pemerintah serta harga gula baik produsen maupun konsumen tidak dapat dipertanggungjawabkan. ***SH