
Dewan Pengawas Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Sofyan Djalil, mengingatkan bahwa peningkatan bauran biodiesel di atas B40 tanpa adanya peningkatan produktivitas akan berdampak pada penurunan ekspor minyak sawit Indonesia.
Sofyan mengatakan, saat ini, produktivitas Indonesia diperkirakan sekitar 50 juta ton, ditambah dengan produksi yang lain, seperti kernel sawit, totalnya bisa mencapai sekitar 54 juta ton. Dengan B40 yang berjalan saat ini, Indonesia masih bisa mempertahankan ekspor minyak sawit 26 hingga 28 juta ton.
“Tapi kalau misalnya lebih dari itu, maka yang harus kena adalah potensi ekspornya,” kata dia dalam Dialog Profesional Sawit Indonesia, dengan tema ‘Sinergi Profesional Sawit dalas Menciptakan Renewable Energi Berkelanjutan Guna Menopang Revolusi Hilirisasi Kelapa Sawit Indonesia’, Jakarta, Sabtu (16/11).
Menurtnya, mau tidak mau yang harus dikorbankan adalah ekspor, karena kebutuhan dalam negeri tidak bisa dikompromikan.
“Karena sawit ini kan yang pertama, yang nggak boleh kita kompromi adalah minyak makan dalam negeri. Nggak boleh dikompromi,” tegasnya.
Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya sektor oleokimia, yang memberikan nilai tambah besar dan memiliki industri yang sudah berjalan. “Yang kedua, nggak boleh dikompromi adalah tentang produksi oleochemical, karena itu added value besar sekali dan industri sudah ada,” ujarnya.
Sofyan juga menjelaskan bahwa semakin besar volume biodiesel yang diproduksi, semakin kecil jumlah minyak sawit yang tersedia untuk ekspor.
“Kalau kita bakar program biodiesel, semakin besar biodiesel yang kita bakar, semakin kecil ekspor yang bisa tersedia,” kata Sofyan.
Padahal, kontribusi ekspor minyak sawit Indonesia sangat signifikan, dengan nilai sekitar 28 hingga 32 miliar dolar per tahun. “Ini kontribusi yang sangat besar. Itu yang mendukung rupiah kita, memberikan pendapatan kepada petani, dan lain-lain,” jelas Sofyan.
Di sisi lain, dia juga memperingatkan dampak negatif yang mungkin timbul akibat penurunan ekspor minyak sawit Indonesia. Menurutnya, jika ekspor dikurangi, daerah-daerah yang suboptimal atau kurang ideal untuk penanaman kelapa sawit akan mulai ditanami sawit, yang berpotensi menyebabkan over-supply atau glut dalam produksi.
Hal ini, pada gilirannya, dapat menurunkan produktivitas secara keseluruhan dan berdampak buruk bagi industri sawit Indonesia.
“Itu impact-nya adalah daerah-daerah yang suboptimal akan ditanam sawit, sehingga nanti akan menjadi glut produktivitas, dan di masa depan akan memukul sawit kita sendiri,” jelasnya.
Sebagai contoh, Sofyan mengungkapkan, India kini mulai mendorong penanaman kelapa sawit di wilayah Andhra Pradesh. “Saya pernah pergi ke sana, produktivitas rendah sekali, Tapi kalau untuk security konsumsi minyak, mereka akan dorong itu,” kata Sofyan.
Sofyan menambahkan, meskipun dampak negatif tersebut belum sepenuhnya terlihat, langkah-langkah pencegahan perlu dipikirkan. “Let’s wait to find out, but again, kita harus berpikir,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sofyan menegaskan, pihaknya sudah memiliki rekomendasi untuk mengatasi hal ini. Rencannya, dia sampaikan kepada Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman atau dengan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono.
“(atau) Bahkan dengan Presiden untuk menunjukkan rekomendasi, B40 oke, tapi harus ada adjustment dalam mekanisme BPDPKS (Bada Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit),” pungkas dia.