Tak Tuntasnya RTRW Kalteng Menjadi Penghambat Investasi

0
hutan lebat

Sulitnya penyelesaian Rancangan Tata Ruang Tata Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah (Kalsel) telah jadi penghambat investasi untuk pengembangan perekonomian. Perlu langkah komprehensif untuk menyelesaikannya.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan, Dr Sadino, SH, baru-baru ini, di Jakarta. Menurutnya, persoalan tata ruang di Kalteng tersebut akibat ketidak-konsistenan pemerintah dalam membuat peraturan.

Sadino menjelaskan, keruwetan itu bermula dari surat Kepala Badan Planologi, Kementerian Kehutanan, 12 September 2000 dan ini menjadi dasar dalam penyusunan Perda No.8/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah. Isi surat tersebut, memperbolehkan pemanfaatan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) untuk perkebunan dan infrastruktur lainnya tanpa proses pelepasan kawasan hutan.

Namun surat tersebut dibatalkan oleh Menhut yang waktu itu dijabat Malam Sambat Kaban, dan yang menjadi persoalan, pembatalan itu berlaku surut terhitung mulai 20 September 2000 yaitu sejak diterbitkannya surat Baplan tersebut pada 12 September 2006.

“Dampaknya luar biasa, pemanfaatan lahan yang sudah telanjur terjadi pada masa enam tahun yang pada awal perizinannya tidak perlu pelepasan lahan, dengan adanya surat pencabutan tersebut harus mendapatkan pelepasan dari Menteri Kehutanan,” jelas Sadino.

Masalah bertambah rumit ketika terbit Perda 5/2015 yang mengacu SK Menhut No. 529/2012 yang merevisi Perda 8/2003. Dimana wilayah kawasan non hutan kembali menyusut drastis menjadi hanya sekitar 18% saja.

“Di sini HPK kurang lebih hanya 16,47%. Sedangkan APL menyusut menjadi hanya 18,71%. Selebihnya hutan tetap 65,54%. Bayangkan, Kalteng dengan luas 15,36 juta ha, APL-nya hanya 18,71%. Selebihnya itu harus melalui proses pelepasan,” kata Sadino.

Menciutnya APL itu juga mengakibatkan banyak perkebunan sawit yang sebelumnya sudah berstatus legal dan memiliki HGU menjadi ilegal karena lokasinya berubah dari APL menjadi kawasan hutan. Dan pengalaman di lapangan, proses pelepasan makan waktu lama, dua tahun pun sudah terbilang cepat.

Sadino berharap penataan kawasan hutan semestinya mengakomodasi aspek sosial dan ekonomi Kalteng yang berkembang pesat.

“Tadinya hanya terdiri dari lima kabupaten dan satu kota. Dengan UU No.5/ 2002, Kalteng berkembang menjadi 15 kabupaten dan satu kota. Tapi (porsi) HPK dan APL-nya tetap. Ini kan sulit. Satu sisi diharapkan berkembang tetapi di satu sisi lahannya diikat dengan kuat menjadi kawasan hutan,” kata dia lagi.

Solusinya, lanjut Sadino, keberadaan Perda 5/2015 harus dibatalkan dahulu dan kembali mengacu ke Perda 8/2003 di mana saat itu kawasan non kehutanan masih lebih dari 30%. Setelah itu baru dibuat Perda yang baru yang lebih komprehensif.

Selain itu, menurutnya, di berbagai daerah juga masih tersandera oleh berbagai tumpang tindihnya lahan. Beberapa regulasi tumpang tindih dalam mengatur soal Tata Ruang, sebut saja; di sektor Kehutanan ada UU Nomor 41 Tahun 1999 dan UU Nomor 19 Tahun 2004; di sektor Agraria ada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan UU 24 Tahun 1992 dan UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan di Kementerian Dalam Negeri ada UU Nomor 6 Tahun 2015 dan Pengaturan Otonomi Daerah UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 2 Tahun 2015.

Selain UU ada juga PP No 11 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan. Untuk melaksanakan Pasal 20 ayat 6, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Khusus untuk Kalteng, ada Keputusan Menteri Kehutanan No. 529/Menhut-II/2012 tanggal 25 September 2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Namun dengan berbagai aturan ini, semua masih tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan penataan lahan dan persoalan RTRW yang ada.

sadino
Sadino, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (DOK.HORTUS)

“Apabila persoalan permasalahan RTRW ini dibiarkan lama tanpa solusi, tentu akan sangat berpengaruh dan dapat membahayakan investasi yang sudah tertanam,” tegas Sadino.

Untuk itulah diperlukan satu terobosan hukum untuk menyelesaikannya, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Penataan Ruang.

Pertimbangan pertama, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Presiden bisa mengeluarkan Perppu atas dasar adanya keadaan yang membutuhkan atau keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, terkait aturan hukum yang belum memadai, Perppu bisa diterbitkan untuk memberikan solusi agar tidak terjadi kekosongan hukum. UU yang dibutuhkan belum ada, atau ada UU tetapi tidak memadai untuk menyelesaikan masalah hukum tersebut.

Ketiga, Perppu bisa diterbitkan apabila kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru. Mekanisme dan prosedur pembuatan UU baru tentu membutuhkan jangka waktu yang panjang, dan UU baru dinilai dapat tumpang tindih dengan UU yang telah ada, sementara kondisi harus segera diselesaikan untuk segera memberikan kepastian hukum.

“Perppu ini tidak harus mengubah seluruh pasal UU yang ada, dalam hal ini UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tetapi bisa hanya merupakan revisi atau penambahan pasal yang diperlukan pada UU tersebut,” jelas Sadino.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini