100 Tahun, Sawit di Lahan Gambut Sumut Tak Terbakar

0
lahan gambut hijau

Perkebunan kelapa sawit (sawit) di lahan gambut tak selamanya menjadi penyebab kebakaran lahan dan hutan. Bahkan, kebun sawit di lahan gambut Sumut ini sudah lebih 100 tahun tak pernah terbakar. Kuncinya, cukup dikelola dengan membangun sistem pengelolaan air yang baik.

Komoditas sawit seperti tak pernah sepi dari terpaan black campaign (kampanye hitam), baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung oleh sejumlah LSM di dalam maupun mancanegara. Apalagi, Indonesia selaku produsen sawit terbesar di dunia.

Salah satunya isu seputar pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan sawit yang dituding sebagai pemicu kebakaran lahan. Padahal, tak semua lahan gambut yang ditanami kelapa sawit menjadi biang kerok kasus kebakaran hutan & lahan yang terjadi pada 2015 lalu. Yang ada justru sebaliknya.

Itu pula sebabnya, cukup beralasan bila Bandung Sahari, Ketua bidang Riset Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) keberatan terhadap tudingan miring itu. Menurut dia, selama ini persepsi bahwa sawit di lahan gambut adalah pemicu kebakaran hutan & lahan, sangatlah tidak mendasar. Bahkan, tak lebih dari kampanye hitam atau black campaign.

“Banyak black campaign yang dilakukan terhadap sawit dan lahan gambut,” tukas Bandung, baru-baru in di Labuanbatu Selatan, Sumatera Utara.

Bandung menambahkan, keberadaan komoditas sawit di lahan gambut justru berdampak positif dan mampu menggerakkan perekonomian daerah khususnya, sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ambil contoh, sejumlah perkebunan yang dikelola PTPN IV serta masyarakat yang berada di lahan gambut selama ini terbukti aman-aman saja. Bahkan, di Ajamu dan Meranti Paham milik PTPN IV, produktivitasnya lebih tinggi. Demikian pula perkebunan sawit di lahan gambut milik PT Socfin Indonesia (Socfindo) dan perkebunan rakyat, tidak ada masalah. Karena semuanya dikelola dengan baik. Kuncinya, management water,” tegasnya.

Saat ini, lanjut Bandung, periode penanaman sawit di Kebun Ajamu PTPN IV masuk siklus ke 3, sementara di PT Socfin masuk siklus ke-4. Artinya, kedua pengelolaan budidaya sawit di lahan gambut tersebut telah melewati masa 100 tahun lebih dan terbukti aman dari kebakaran. Dan jika dikelola dengan baik akan membawa kemakmuran rakyat.

“Indonesia memiliki 14,9 juta hektar lahan gambut. Hanya 1,5 juta hektar yang ditanami sawit. Jadi, tidak logis kalau gambut disebut sebagai biang kerok kebakaran hutan. Yang jelas, sawit berhasil mensejahterakan jutaan rakyat Indonesia. Mendorong pembangunan dan perekonomian di daerah sehingga bisa berlari cepat,” tambahnya.

Manajer Unit Kebun Meranti Paham PTPN IV, Syukri Noviar menambahkan, dari empat kebun kelapa sawit yang dikelola PTPN IV, produk Kebun Meranti Paham yang terbaik. Padahal, porsi lahan gambutnya terbesar, yakni mencapai 80% (seluas 3.600 hektar) dari total luas kebun yang mencapai 4.493 hektar. .

Dominasi lahan gambut di Kebun Meranti Paham, kata Syukri, justru memberikan berkah. Lantaran, produksi serta kualitas sawit yang dihasilkan lebih unggul dibanding tiga kebun lainnya yakni Ajamu, Pande Jaya dan Berangin.

“Di kebun kami tidak pernah terjadi kebakaran. Dan, hasilnya bagus baik dari sisi produktivitas maupun kualitas,” ujar dia.

Menurut Syukri, produktivitas sawit di Meranti Paham di atas 25 ton per hektar dengan rendemen rata-rata 24%. Di mana, produktivitas serta rendemen rata-rata di tiga kebun PTPN IV lainnya masing-masing hanya 20 ton per hektar dan 20%.

Upaya menggenjot produksi serta kualitas, diupayakan dengan teknologi pertanian. Khususnya dengan membangun sistem management water yang baik. “Karena, air itu adalah makanan utama bagi kelapa sawit di lahan gambut. Melalui management water, produksi kami naik,” katanya.

Management water yang dimaksud Syukri berupa pembuatan parit di pinggiran kebun dengan pengaturan ketinggian air. Standarnya, ketinggian air parit dibanding ketinggian tanah mencapai 70 centimeter. “Dengan management water, produksi bisa naik minimal 0,7 ton per hektar.

Secara terpisah, Guru Besar Universitas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Erwin Harahap membenarkan bahwa tata kelola air di lahan gambut, sangatlah penting. Selain untuk meningkatkan produksi, water management bisa diandalkan untuk mencegah kebakaran. “Air sangat penting sebagai unsur hawa bagi gambut,” ucapnya.

Selain itu, Erwin mengkritisi rencana pemerintah untuk melakukan moratorium terhadap konsesi lahan perkebunan kelapa sawit yang dicetuskan Presiden Joko Widodo. Menurut Erwin kebijakan pemerintah tersebut kurang tepat karena berdasarkan penelitiannya kelapa sawit adalah tumbuhan konservasi yang dapat membuat tanah “tidak subur” menjadi produktif kembali.

“Bukan hanya dilahan gambut, bahkan ketika kelapa sawit ditanam di tanah bekas tambang timah, hasilnya bagus,” tegas Erwin.

Dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian USU pada tahun 2007 dengan judul “Peranan Tanaman Kelapa Sawit pada Konservasi Tanah dan Air”, Erwin menyimpulkan bahwa kelapa sawit memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan memperbaiki tata air.

Selain itu, kelapa sawit juga diyakini Erwin dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta menyediakan bahan baku industri yang terus menerus. “Tidak ada data ilmiah yang menyatakan kelapa sawit itu tidak bagus di lahan gambut,” kata dia lagi.

Dijelaskannya, kelapa sawit juga tanaman terbaik yang bisa ditanam di wilayah gambut karena lebih bernilai secara ekonomis. Indonesia sendiri, lanjut dia, memiliki sekitar 30 juta hektar lahan gambut potensial. Dengan menanam sawit di gambut, tanah dengan unsur karbon itu bisa menghasilkan produk yang berkelanjutan (sustainable).

Hal senada juga dilontarkan Ketua Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Abdul Rauf. Abdul mengusulkan agar lahan-lahan gambut yang “menganggur” ditanami kelapa sawit. “Lahan gambut jangan dibiarkan kosong karena dapat melepaskan karbon yang tinggi ke atmosfer,” katanya mengingatkan.

Abdul menambahkan, lahan gambut merupakan endapan dedaunan dan kayu kering yang sudah tertanam sejak jutaan tahun silam. Bila dikelola dengan baik, maka lahan gambut bisa dimanfaatkan sebagai kebun sawit yang tingkat produktivitasnya tidak jauh berbeda dengan kebun sawit di lahan mineral atau lahan biasa.

Bahkan Abdul meyakini kelapa sawit tidak hanya membawa manfaat ekonomi, namun juga menjadi satu-satunya pilihan tanaman konservasi yang mampu menyuburkan lahan yang telah kehilangan kemampuan fisiologis tumbuhan (marjinal).

Jika jenis tanaman tidak sustainable, sudah pasti akan mati jika ditanam di lahan gambut, terutama yang banyak mengandung kapur. Menurutnya, sawit satu-satunya tanaman yang bisa ditanami pada lahan gambut yang sudah terdegradasi dan miskin unsur hara.

Sebagai tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik, kelapa sawit sangat toleran terhadap ketidaksesuaian dalam penanganannya dan pertumbuhannya dapat segera pulih dengan baik dari stres akibat pindah tanam, kekeringan, kebakaran dan gangguan lainnya.

Dengan kemampuan adaptasi yang baik tersebut, tak usah heran bila pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sudah dimulai di Indonesia sejak tahun 1900-an tepatnya di Negeri Lama, Kabupaten Labuhan Batu, Provinsi Sumatera.

Director of Tropical Peat Research Laboratory Unit (TPRL) Malaysia Lulie Melling Malaysia menyarankan Indonesia mengoptimalkan keberadaan lahan gambut untuk membantu meningkatkan produktivitas komoditas yang ditanam di atas lahan tersebut.

Hanya memang, untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan komunikasi semua pihak baik pemerintah dan masyarakat agar paham betul bahwa tidak semua kebakaran di lahan gambut disebabkan oleh korporasi. Pasalnya, publik seringkali tidak bisa membandingkan antara gambut yang terkelola dengan gambut yang tidak terkelola.

“Perlu komunikasi lebih baik agar tidak ada persepsi yang keliru,” kata Melling, di Yogyakarta, baru-baru ini.

Di Malaysia, lanjut Melling, gambut bisa dikelola dengan baik sehingga sulit terbakar. Bahkan , di Sarawak terdapat 1,2 juta hektar lahan gambut atau 13% dari luas daratan. Sarawak yang merupakan kawasan gambut terbesar di Malaysia, dapat terhindar dari kebakaran karena mempunyai teknologi pemadatan dan tata kelola air yang baik.

Masalah kebakaran seperti yang terjadi di Indonesia, ujar Melling, tidak terjadi di Sarawak karena ada kesadaran bersama mengenai pentingnya menerapkan teknologi tata kelola air mulai dari petani kecil hingga korporasi.

Kesadaran mengenai pentingnya teknologi itu seharusnya dikomunikasikan akademisi kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pengambil keputusan industri dan pekerja.
Melling mengingatkan, tanpa dukungan penelitian gambut maka akan selalu terjadi fitnah terhadap korporasi yang menanfaatkan media gambut untuk keperluan produksi, baik itu sawit maupun komoditas lain.

“Ketika tidak ada penelitian mengenai gambut maka yang terjadi fitnah. Penyelidikan tanah gambut itu kurang. Yang kita tahu tentang gambut masih kurang. Kita tidak boleh buat imajinasi tetapi diverifikasi di lahan gambut. Tanah gambut itu kekayaan Indonesia dan Malaysia karena tanah sumber penting bagi sebuah negara, menentukan kekayaan sebuah negara,” paparnya.

Menurutnya, lahan gambut bisa dubah menjadi tanah pertanian untuk ditanami kelapa sawit dan memberikan pendapatan kepada negara. “Malaysia bisa terselamatkan krisis ekonomi tiga kali berkat sawit. Di Sarawak, jumlah areal perkebunan sawit naik dua kali lipat. Dari segi ekonomi di Sarawak, pendapatan secara langsung sawit di lahan gambut mencapai 400 juta ringgit-500 juta ringgit per tahun,” jelasnya.

Selain itu, sawit di Malaysia merupakan komoditas yang terkena pajak paling tinggi. Sementara minyak nabati lain dapat subsisdi. Tapi, meski terkena pajak tinggi, para pengusaha berkomitmen selalu bayar pajak.

Dengan inovasi teknologi, lanjut dia, dapat menjadikan gambut sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan dengan cara dipadatkan.

Dipaparkan Melling, untuk memperbaiki gambut, perlu dibuat drainase, pemadatan dan pengelolaan air. Persiapan lahan ini perlu dilakukan sebelum digunakan lahan gambut untuk perkebunan. Persiapan antara lain drainase, destumping, stacking, manajemen air dan dibuat tidak longgar. Proses pemadatan tanah ini bisa meningkatkan density soil bulk. Pemadatan penting untuk menjaga tanah lembab. “Dengan hukum kapiler akan mengikuti ukuran lubang. Jika dipadatkan, muka air lebih lembab,” ujarnya. ** SH, AP

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini