Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta Kementerian Pertanian (Kementan) menyempurnakan Permentan 01/2018 tentang tata niaga tandan buah segar (TBS) sawit. Selain akibatkan turbulensi harga TGS juga dinilai tidak adil.
Hal tersebut disampaikan Dr. Gulat ME Manurung, M.P., C.IMA., Ketua Umum DPP APKASINDO, pada focus group discussion (FGD) Peningkatan Kesejahteraan Pekebun Melalui Revisi Permentan 01/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Pekebun di Jakarta yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bersama APKASINDO, Jumat (19 Agustus 2022).
Dalam acara yang dihadiri perwakilan dari DPW APKASINDO seluruh Indonesia tersebut, Gulat menyatakan, permasalahan turbulensi harga TBS yang terjadi sangat multidimensi.
“Permasalahan turbulensi harga TBS yang terjadi sangat multidimensi dan itu harus dihadapi, pekebun atau petani sawit yang mencapai 17 juta. Padahal ini kan aset bangsa yang harus di jaga,” Tegas Gulat.
Untuk itu, lanjutnya, Permentan No. 1/2018 harus di cabut atau minimal direvisi. ,”Permentan No. 1/2018 harus di cabut atau minimal direvisi. Agar berkeadilan untuk petani atau pekebun semuanya,” jelasnya.
Menurut Gulat, Permentan 01/2018 itu, baru mengatur harga TBS para pekebun yang bermitra. Padahal jumlah pekebun mitra tidak lebih dari 7%, sedangkan pekebun swadaya atau pekebun yang tidak bermitra berjumlah 93% dari total luas perkebunan rakyat atau 6,72 juta ha. Sehingga menimbulkan ketidak adilan bagi pekebun yang belum bermitra.
“Permentan 01/2018 hanya menetapkan harga TBS pekebun atau petani sawit bermitra yang jumlahnya gak lebih dari 7% sedangkan petani swadaya atau yang tidak bermitra dengan jumlah 93% dari total luas perkebunan rakyat (6,72 juta ha) sama sekali tidak terlindungi dalam Permentan tersebut, sehingga menjadi korban harga di PKS,” kata Gulat.
Gulat menjelaskan, saat ini, petani sawit (APKASINDO) petani sawit yang sudah naik kelas, yang sudah mampu mencari solusi untuk bersinergi. Permasalah harga TBS bukan semata permasalahan petani sawit (APKASINDO) melainkan permasalahan bersama yang dihadapi petani.
“Permentan No 18/ 2018 mungkin cocok di jamannya (waktu dikeluarkan), tetapi dengan adanya dinamika saat ini,” tambahnya.
Menurutnya, hasil FGD ini segera difinalkan melalui Paripurna APKASINDO pada hari kedua yang selanjutnya akan diserahkan ke Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Bapak Jend. TNI (Purn.) Dr. Moeldoko, M.Si.
Sekjen APKASINDO, Rino Afrino menambahkan, pasca pelarangan ekspor CPO pada 22 April lalu, petani sawit menjadi salah satu pihak pelaku usaha yang hingga saat ini masih terdampak. Untuk itu, APKSINDO terus melakukan upaya-upaya perjuangan agar memulihkan harga buah sawit (TBS).
“Isu harga TBS menjadi hal yang sangat fundamental bagi petani sawit. Bahkan, hasil kajian dari LPPM Universitas Riau menunjukkan salah satu tingkat kesejahteraan petani sawit adalah harga TBS,” kata Rino.
Untuk itu, tepat pasca 3 bulan pencabutan larangan ekspor CPO oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Mei 2022, petani sawit (APKASINDO) berniat menyampaikan usulan pada pemerintah untuk merevisi Permentan No 18/ 2018.
“Hal ini berdasarkan bukti di lapangan adanya ketidakadilan yang mengakibatkan petani sawit mengalami hal yang berat,” jelasnya.
Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Sunari mengapresiasi DPP APKASINDO yang mengadakan FGD dengan tema Peningkatan Kesejahteraan pekebun melalui revisi Permentan No 18/ 2018 tentang pedoman dan pencatatan pembelian TBS Pekebun.
“Apapun yang kita kerjakan ujung-ujungnya, peningkatan mutu dan produktivitas pekebun sawit yang and goal-nya yaitu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Jumlah petani sawit sangat banyak sehingga harus dipikirkan dengan baik. Negara harus hadir bagaimana mendorong peningkatan produksi dan produktivitas serta pendapatan dan kesejahteraan petani sawit,” kata Sunari.
Menurut Sunari, sawit sebagai komoditi yang produktif menyumbang lebih dari 42% supply minyak nabati dunia. Seiring dengan permintaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun pertumbuhan demand minyak nabati dunia meningkat mencapai 8,5 juta MT/tahun.
“Sebagai produsen minyak nabati di dunia, Indonesia menargetkan produksi minyak sawit 50 juta ton pada tahun 2025. Untuk pasokan minyak pangan termasuk minyak goreng dan produk makanan berbasis minyak sawit serta biodiesel untuk domestik dan ekspor,” kata Sunari.
Sunari menyatakan, data produktivitas terbaik dibanding minyak nabati lain. Minyak sawit berada pada posisi yang terbaik untuk memenuhi permintaan dunia yang semakin meningkat.
“Sebagai produsen minyak nabati terbesar di dunia, kita berharap untuk bahu membahu tidak hanya menyediakan bahan pangan. Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi dan kebijakan dengan tujuan untuk mendorong hilirisasi industri sawit yang dapat memberikan nilai tambah. Tentunya ini sejalan keberlanjutan usaha perkebunan sawit terutama perkebunan sawit rakyat,” jelasnya.
Munurut Sunari, pemerintah terus mendorong keberlanjutan perkebunan sawit dengan berbagai regulasi yang mendukung bisnis yang adil dan menguntungkan untuk semua rantai pasok industri sawit mulai dari petani sawit yang menghasilkan TBS hingga industri hilir.
Salah satu regulasi yang menentukan adalah yang langsung memberikan dampak pada petani yaitu kebijakan penetapan harga TBS yang ditetapkan oleh masing-masing Pemerintah Daerah melalui panduan atau diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian. Kebijakan harus terus mengikuti dinamika dan perubahan pasar.
“Saya kira APKASINDO juga terus berjuang bagaimana mendorong melalui berbagai webinar yang ujung-ujungnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani,” katanya.
Di tahun 2021 dan awal 2022 ini, lanjutnya, BPDPKS turut mendukung dalam upaya penetapan harga TBS agar lebih akurat dengan dukungan pendanaan atas pelaksanaan uji rendemen TBS di berbagai wilayah sentra sawit bekerjasama dengan dinas perkebunan setempat dan PPKS.
Diharapkan penetapan harga TBS di daerah sentra penghasil sawit akan lebih akurat dengan kondisi terkini di perkebunan. Tentunya pendoman penetapan harga TBS harus selalu dipantau dan diberi masukkan. Sehingga FGD ini menjadi sangat penting untuk terus menjaga keberlanjutan usaha perkebunan sawit dan kesejahteraan petani. disamping itu, BPDPKS turut mendorong kesejahteran petani melalui dukungan dana pada program peremajaan sawit rakyat yang akan semakin ditingkatkan pada 2022 ini.
“Kami telah menyusun skema pendanaan PSR melalui skema kemitraan dengan perusahaan. Dengan kemitraan dengan perusahaan tentu petani sawit plasma dan swadaya jadi kemitraan ini tidak hanya untuk petani plasma tetapi perusahaan dapat mengikutsertakan petani sawit swadaya dapat bekerjasama dan komitmen untuk mencapai keuntungan bersama dan saling memperkuat
Firman Hidayat, Staf Khusus Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemko-Marves) menambahkan, beberapa update kebijakan pemerintah (Kemenko Marves) terkait dengan industri sawit, salah satunya minyak goreng yang tentunya berkaitan dengan petani sawit dan harga TBS di lapangan.
“Kemenko Marves ditugasi oleh Presiden Joko widodo, pada minggu ketiga bulan Mei 2022 dalam pengendalian harga minyak goreng di Jawa dan Bali, tetapi dalam praktiknya setelah dipelajari tidak bisa stop di harga minyak goreng di Jawa dan Bali saja. Industri sawit dari hulu ke hilir saling berkaitan, jadi kami mendesain kebijakan terkait dengan minyak goreng, mau tidak mau kita harus melihat secara utuh. Jadi harus bisa menyeimbangkan dari hulu hingga hilir,” kata Firman.
Menurut Firman, pemerintah perlu memperhatikan bahwa petani sawit yang harus tetap dijaga kesejahteraanya.
“Harga TBS yang harus dijaga, kemudian di tengah-tengah kita juga harus memastikan berusaha dan berkeadilan harus dimiliki oleh produsen dan distributor yang berada dalam rantai distribusinya,” katanya.
Dan sulitnya, lanjut Firman, tanpa disadari target dari sisi hulu dan hilir harus dijaga keseimbangannya.
“Kalau misalnya kita terlalu berat membebani target dari sisi hilir (minyak goreng) maka yang menjadi korban sisi hulu (harga TBS di tinggat petani). Jika terlalu membebani target dari sisi hulu maka akan ada risiko dari sisi hilir. Ini yang sulit, sejak Januari – Maret 2022 keseimbangan agak berantakan, ini yang perlu ditata kembali tentunya membutuhkan waktu,” pungkas Firman.