APKASINDO: BPDPKS Menjadi Tumpuan Petani sabang-Merauke, Jangan Dilemahkan

0
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi tumpuan para petani dari Sabang hingga Merauke untuk meningkatkan kesejahteraan. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta semua pihak untuk tidak melemahkannya.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung menyatakan, BPDPKS telah berperan besar dalam mendukung peningkatan kesejahteraan petani dengan pogram peremajaan sawit rakyat (PSR), beasiswa, pelatihan SDM dan dukungan sarana prasarana.

“BPDPKS telah mendukung petani meningkatkan kesejahteraanya melalui; PSR, beasiswa anak petani, pelatihan SDM dan sarpras. Jangan dilemahkan agar petani meningkat dan setara,” kata Gulat acara ‘Sosialisasi Dampak Penerapan Tarif Layanan BLU BPDPKS Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan’ di Kuta Bali, 30/8/2022.

Gulat berharap, peran BPDPKS terus meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi kondisi petani saat masih memprihatinkan, meski menguasai 42% lahan kelapa sawit namun produksi CPO hanya 28% dari total produksi nasional. Hal ini dikarenakan rendahnya produktifitas kebun kelapa sawit milik petani, masih jauh dibandingkan dengan kebun milik perusahaan swasta.

“Rendahnya produktifitas ini disebabkan berbagai hal, diantaranya budidaya kelapa sawit belum memenuhi GAP, tanaman rusak dan sudah tua, penggunaan bibit yang tidak unggul bersertifikat,” kata Gulat.

Selain itu, lanjutnya, mahalnya pupuk turut mempengaruhi rendahnya produktifitas tanaman kelapa sawit. Petani mengurangi dosis pupuk yang seharusnya diberikan atau bahkan tidak memupuk sama sekali karena tidak memiliki dana yang cukup.

“Kebutuhan pupuk petani sawit diperkirakan mencapai 2,9 juta ton per tahun. Petani sawit tak melakukan pemupukan sesuai dosis, akibatnya terjadi penurunan produktifitas kebun sawit petani,” jelasnya.

Permasalahan lainnya yang membuat rendahnya produktifitas kebun petani adalah sulitnya petani mengikuti program PSR karena terkendala status lahan yang diklaim menjadi kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dari data yang ada menunjukkan permasalahan status lahan menyebabkan 86% usulan PSR gagal karena lahan mereka diklaim KLHK berada dalam kawasan hutan.

“Padahal kebun kelapa sawit petani yang mau diremajakan itu sudah berumur di atas 20 tahun. Kemana selama ini KLHK. Klaim tadi belum termasuk embel-embel baru, musti clear dari Kawasan Lindung Gambut (KLG). Ini menjadi misterius, lantaran di draf dan pembahasan tidak ada. Tapi setelah menjadi Permentan 03/2022, KLG itu nongol,” terang Gulat yang juga Auditor ISPO.

Selanjutnya dalam persyaratan administrasi, 78% petani yang mengusulkan melalui Dinas Perkebunan (Disbun) setempat, terkendala melengkapi persyaratan, lantaran bingung kemana meminta rekomendasi.

“Belum lagi, kalau dihitung-hitung, ternyata biaya melengkapi administrasi PSR itu cukup besar untuk ukuran petani sawit. Mereka juga terkendala di sistem onlinenya,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut Gulat, 98% petani mengaku kalau program PSR itu sangat penting dan bermanfaat. Apalagi kalau besarannya dinaikkan menjadi Rp35 juta sampai Rp40 juta.

“Permintaan kenaikan ini muncul lantaran biaya sarana dan prasarana (sarpras) naik menjadi 200%-300%,” lanjut Gulat.

Sementara itu, PSR melalui skema kemitraan banyak yang terkendala lahan mereka belum bersertifikat.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Ir. Musdhalifah Machmud mengatakan, BPDPKS terus melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dengan membuat peraturan-peraturan baru untuk meningkatkan daya saing industri sawit.

“Kalau pun ada yang salah bisa dikoreksi bersama, BPDPKS selalu terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga petani dan masyarakat,” kata Musdhalifah.

Menurut Musdhalifah, dengan adanya BPDPKS bisa menjaga sumber ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit. Apalagi banyak SDA Indonesia yang dahulu sempat Berjaya, kini mulai menghilang.

“Dulu kita punya banyak komoditas yang berharga, dan sekarang sudah tidak banyak lagi. Bahkan yang dahulu kita mampu mengekspor, sekarang kita justru menjadi pengimpor. Kita dahulu raja kopra sekarang tidak lagi nomor 1. Belajar dari pengalaman inilah, banyak komoditas yang ingin mencontoh kesuksesan BPDPKS,” jelas Musdhalifah.

Musdhalifah meminta, jangan sampai ada upaya-upaya untuk melemahkan BPDPKS.

“Kalau lemah, nanti tidak adalagi resources untuk melawan kampanye negative kelapa sawit, dan tidak bisa lagi membuka lapangan kerja bagi 17 juta tenaga kerja yang selama ini bergantung pada industri sawit. Apalagi saat ini masih ada 11 juta orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sawit menjadi solusi untuk itu. Mari kita berjuang Bersama,” ungkap Musdhalifah.

Industri sawit, lanjutnya, dapat memberikan banyak multiplier effect (efek berganda) bagi kemandirian ekonomi bangsa Indonesia.

“Dengan BPDPKS, kita ingin membangun narasi baik agar kelapa sawit dapat di kenal di dunia dan kita juga sudah berusaha keras membangun sustainability dalam pengelolaanya sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan yang baik,” pungkasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini