Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mendesak agar Program Peremajan Sawit Rakyat (PSR) dibuat menjadi mandatori alias wajib.
Urgensi ini dia sampaikan mengingat produktivitas sawit masih sangat rendah. Sementara, kebutuhan minyak sawit untuk energi di dalam negeri terus meningkat dengan adanya pengembangan biodiesel.
“Ini kan belajar tiga tahun yang lalu, itu kan hanya diimbau. Kalau mandatori itu kan layanan publik dan wajib, sama dengan puskesmas, harus tuntas disederhanakan semua,” kata Gulat di Jakarta, Kamis (6/6).
Menurut Gulat, sejak diluncurkan Presiden Joko Widodo tahun 2017 lalu, Program PSR yang merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) ini tidak pernah mencapai target.
“Sejak tiga tahun lalu kan ditarget Pak Jokowi 500 ribu haktare, tapi yang tercapai itu tidak lebih dari 300 ribu hektare, kurang lebih angka pastinya 312 ribu hektare. Tahun 2022 itu adalah target terendah sepanjang sejarah,” kata Gulat.
Padahal, kata Gulat, dengan peremajaan produktivitas tandan buah segar (TBS) petani swadaya bisa terdongkrak hingga 3.500 kilogram per hektare per bulan. Dibandingkan tidak replanting yang hanya 300-400 kilogram per hektare per bulan.
Kendala yang dihadapi petani saat ini adalah regulasi yang mengatur program tersebut masih dirasa memberatkan dan membingungkan petani karena sering berubah-ubah.
“Petani sawit sangat happy relplanting, tetapi karena aturan yang begitu berat yang harusnya tidak di level petani yang mengerjakan. Korporasi saja yang punya plasma klabakan, apalagi petani,” kata dia.
Gulat menuturkan telah mengusulkan mandatori PSR kepada tim presiden terpilih Prabowo Subianto. Dia berharap, Prabowo dapat mewujudkan harapan petani untuk bisa menikmati peremajaan tanaman sawit.
“Permasalahan sawit itu ada di petani, berulang saya bilang. Kenapa permasalahnya karena produktivitasnya baru 30 persen dari yang seharunya. Bagaimana caranya? replatning. Oleh karena itu, kami meminta PSR dimandatorikan dengan dana 60 juta per hektare,” kata dia.
Sebab, jika PSR ini tidak dimandatorikan, kata Gulat, program biodiesel B50 atau bauran solar dengan 50 persen minyak sawit justru akan mengantarkan Indonesia menjadi negara pengimpor crude palm oil (CPO).
“Kalau tidak (replanting), B50 kita sudah jadi importir CPO 1,2 juta ton B50 dengan kondisi semuanya seperti hari ini tidak ada peningkatan konsumsi pangan, oleo dan lain lain,” kata dia.
Apalagi, ada sekitar 2,8 juta hektare lahan sawit yang masuk kategori pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang tidak boleh direplanting. Artinya, lima tahun lagi Indonesia kehilangan 12 juta ton CPO per tahun atau Rp 130 triliun per tahun.
“Mandatori PSR itu harga mati. Kami sudah sampaikan ke tim Prabowo bahkan sebelum jadi presiden, dan dia sudah menangkap itu memang penting. Wajibkan replanting bagi kebun yang produksinya di bawah normal,” ungkap Gulat.