Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajak masyarakat berpartisipasi dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) . KLHK akan membentuk 1.200 desa rawan karhutla pada 2020.
Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Raffles B Panjaitan mengatakan, masyarakat harus diberikan pengetahuan tentang apa dan bagaimana bahayanya karhutla. Sehingga perlu dibentuk kelembagaan dalam penanganan karhutla di tigkat desa.
“Masyarakat sekarang ini harus kita berikan pengetahuan mengantisipasi karhutla. Harus ada penanganan kelembagaan di tingkat desa,” kata Raffles dalam seminar bertema “Penanggulangan Karhutla berbasis Masyarakat” yang diadakan Majalah Tropis di Jakarta, Selasa (12/11).
Raffles menjelaskan tiga tahap awal pembentukan desa rawan karhutla. KLHK akan memetakan kondisi sekitar desa seperti wilayah rawan kebakaran, sumber air, akses wilayah, dan kepemilikan lahan.
“Pemetaan perlu dilakukan karena pola penanganannya enggak mungkin sama antara desa satu dengan desa lainnya,” ujar Raffles.
KLHK akan membentuk satuan tugas (satgas) desa. Masyarakat akan dilatih menangani karhutla hingga membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA).
Kementerian besutan Siti Nurbaya Bakar ini juga akan merumuskan penggunaan dana desa dalam operasional pengendalian karhutla. Raffles sadar butuh sinergitas antarkemenerian dan lembaga mewujudkan rencana ini.
KLHK telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Kami sudah komunikasi, melakukan FGD dengan lembaga dan kementerian terkait untuk mencari solusi pencegahan berbasis desa. Harus ada dukungan kebijakan, kelembagaan, anggaran dan teknologi,” jelas Raffles.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono mengatakan, sebenarnya kebakaran lahan banyak terjadi di luar konsesi perkebunan kelapa sawit dan HTI maka dibutuhkan program yang terintegrasi.
Apalagi kebakaran ini musimnya bisa diprediksi, sehingga butuh melibatkan pemangku kepentingan lain dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
“Telah ada inisiatif pemerintah membentuk klaster dengan melibatkan semua unsur seperti sektor perkebunan kelapa sawit, HTI, Logging, Taman Nasional, dan masyarakat menjadi satu kesatuan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Hanya saja lebih lanjut kata Joko, dalam implementasinya perlu diperkuat dari aspek regulasinya, sehingga penegakan hukum di tingkat lapangan bisa berjalan. Dengan melibatkan masyarakat menjadi upaya yang tepat dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan. “Masyarakat harus menjadi bagian dari upaya pemadaman kebakaran lahan,” katanya.
Merujuk catatan GAPKI, hingga tahun 2018 lalu seluruh anggota GAPKI telah banyak pula melibatkan masyarakat dengan membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA), disebanyak 704 desa rawan kebaran berloksi disekitar perkebunan kelapa sawit.
Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso mengatakan, tanggung jawab itu akan memaksa setiap pemegang konsesi aktif menjaga, mencegah, menerapkan teknologi lingkungan, melakukan pemadaman saat terbakar serta melibatkan masyarakat di sekitar konsesi untuk mencegah karhutla.
“Tanggung jawab pemegang konsesi menjadi penting karena mereka akan fokus menjaga kawasannya. Dengan cara ini, potensi terjadinya karhutla yang disinyalir 99 persen merupakan ulah manusia bisa dicegah dan tidak lagi menjadi bencana berulang,” kata Petrus.
Menurut Petrus, pemegang konsesi hutan dan kawasan yang masuk Area penggunaan lain (APL) perlu dibedakan secara legalitas dan masing-masing punya tanggung jawab sama dalam menjaga konsesinya.
Jika cara ini diterapkan, kebijakan tanggung jawab mutlak atau strict liability sebagai dasar pembayaran ganti rugi bisa diberlakukan kepada semua pihak baik korporasi, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihak-pihak pengelola konsesi.
Kebijakan ini secara tidak langsung juga akan memotivasi pemerintah sebagai penanggung jawab keseluruhan daratan untuk mengelola kawasan yang sudah berizin maupun yang belum berizin dengan baik.
Kesetaraan tanggung jawab bagi pengelola konsesi diharapkan bisa meminimalir kampanye hitam terhadap industri sawit di Indonesia. “Selama ini, setiap karhutla selalu dikaitkan dengan industri sawit. Padahal kebakaran terbesar tahun ini justru terjadi NTB yang merupakan kawasan Sabana dan pulau Jawa yang keduanya tidak ada kebun sawitnya,” kata dia.
Petrus juga mengharapkan, pentingnya ada regulasi yang mengatur mengenai status keterlibatan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan seperti Masyarakat peduli Api (MPA). Hal ini, ketergantungan terhadap masyarakat terutama untuk pencegahan karhutla di luar konsesi sangat tinggi.
“Pertanyaan, apakah mereka terlibat secara sukarela atau berbayar. Ini perlu diperjelas. Jangankan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, masyarakat di kota besar seperti Jakarta yang jelas kepemilikan lahannya, pembakaran sampah plastik dan organik masih terjadi. MPA diharapkan menjadi pioner dan contoh bagi masyarakat dalam membuka dan membersihkan lahan tanpa membakar, perlu punya kejelasan status ,” kata dia.
Prof. Dr. Dodik Ridho Nurrachmad, Wakil Rektor IPB mengatakan, produktivitas suatu kawasan sangat menentukan banyaknya titik api (hotspot). Umumnya semakin tidak produktifnya satu kawasan seperti kawasan terbuka atau open access yang tidak dibebani izin pengelola, hotspot semakin banyak.
“Kecil kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit terbakar dan punya banyak hotspot. Kalau pun itu ada, harus dilihat motif dan modusnya” kata dia.
Dodiek menyarankan Pemerintah tidak menutup opsi lain dalam restorasi gambut. Selain Pembasahan gambut (rewetting) sebaiknya opsi pemadatan dibuka. Menurut Dodiek, ada sejumlah alasan perlu opsi lain, salah satunya untuk mencegah kebakaran.
Menurut Dodiek, rewetting juga tidak menjamin tinggi muka air bisa sama yakni 0,4 m, terutama di perkebunan sawit rakyat. Hal ini karena usia sawit khususnya sawit rakyat berbeda-beda serta bentuk kanal yang tidak beraturan.
”Ini masalahnya. Pada kebun sawit usia 10 tahun mungkin ketinggi 0,4 m cukup. Namun bagi sawit yang baru ditanam, pasti akan terendam dan sulit tumbuh,” kata dia.
Menurut Dodiek, kedua tehnik ini bisa dipergunakan dengan memperhitungkan subsidensi, besaran karbon yang keluar serta kelembaban tanah.
“Pemadatan juga punya sisi baik.Dengan tehnik ini kebakaran hanya terjadi dipermukaan. Kapilaritas yang sempit akan mendorong air naik ke permukaan sehingga tanah lembab. Ini akan memotong salah satu sumber kebakaran di segitiga api sehingga potensi kebakaran di bawah permukaan tanah sangat kecil, “ jelas Dodiek.
Menurut Eddy Martono, Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), di pemerintah pusat ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 69 ayat 2 aturan itu memperbolehkan satu keluarga membakar lahan.
“Kenapa karhutla berulang? Satu, pembakaran masih diperbolehkan, regulasi masih memperbolehkan masyarakat adat dengan pertimbangan kearifan lokal boleh membakar dua hektar per KK (kartu keluarga), itu ada di UU 32 pasal 69 ayat 2,” kata Eddy.
Pasal itu, sebenarnya melarang orang membuka lahan dengan dibakar. Tapi ayat 2 menyebut pengecualian: memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Dalam penjelasannya disebutkan kearifan lokal yang dimaksud adalah membakar lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Nah, pemerintah daerah memakai dasar undang-undang ini membolehkan warganya membakar lahan. Misalnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
Lewat Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 15/2010, tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 52/2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat Kalimantan Tengah, mereka memberi izin bagi warga setempat untuk membuka lahan dengan cara dibakar.
Pasal 1 ayat 2 Peraturan itu menyebut, pejabat yang berwenang memberikan izin (pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara dibakar) adalah Bupati/Walikota.
Nah, untuk pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara dibakar, dengan luas sampai 1 hektar dikeluarkan oleh Ketua RT. Sedang untuk luas lahan 1-2 hektar dikeluarkan oleh Kelurahan/Desa. Sementara untuk luas 2-5 hektar, dikeluarkan oleh Camat. Tapi api menjalar tanpa baca undang-undang.
Maka, undang-undang inilah yang harusnya direvisi. Eddy karena masyarakat akan terus membakar kalau tidak dilarang. “Ini kalau regulasinya tidak direvisi maka akan terus-terusan begini, karena mereka memang diperbolehkan. Kuncinya ini harus dilarang bakar,” kata Eddy.
Menurut hitungan Eddy, membuka lahan tanpa dibakar memang mahal ongkosnya. Apalagi untuk masyarakat kecil, terlbeih masyarakat adat.
“Untuk land clearing tanpa bakar dengan mekanis alat berat itu butuh Rp 6 juta per hektar. Nah masyarakat kalau individu cuma sehektar dua hektar cukup mahal juga,” kata Eddy.