Atasi Penurunan Produktivitas, Pemerintah Intensifkan PSR

0
hgu kebun sawit
Ilustrasi

Pemerintah terus mengintensifkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk mengatasi penurunan produktivitas tanaman, khususnya sawit rakyat.

Deputi Bidang Koordinator Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian, Dida Gardera menyebutkan, produktivitas pekebun rakyat saat ini hanya sekitar 1,5 hingga 2 ton per hektare.

“Nah dengan nanti diganti tanaman yang tua dengan yang baru, itu harapannya bisa meningkat produktivitasnya,” kata Dida dalam Dialog Industri ‘PSR dan Petani sawit Katalisator Indonesia Emas 2045’, Rabu (16/10).

“Berdasarkan pengalaman produktivitasnya bisa sampai dua kali lipat nih, 2,5 sampai 3,5 ton per hektare,” sambung Dida.

Dia menjelaskan, peningkatan produktivitas sawit melalui PSR menjadi penting, mengingat pemerintah telah menerapkan moratorium sejak 2015 untuk menjaga keberlanjutan industri ini.

“Artinya tidak memperluas lagi kebun sawit. Jadi, kalau ada penambahan luas kebun sawit itu dikarenakan banyak komoditi yang pindah. Contohnya kakao pindah ke sawit,” kata Dida.

Sejatinya, pemerintah menargetkan untuk meremajakan sekitar 120 ribu hektare tanaman sawit setiap tahunnya. Hingga saat ini, program ini telah berhasil meremajakan sekitar 350 ribu hektare.

“Sebenarnya dari tiap tahun ini kita selalu di bawah target nih. Nanti mungkin di dalam diskusi kenapa kita selalu di bawah target. Karena memang ada beberapa hambatan,” kata dia.

Dia menyebut, tanaman sawit membutuhkan waktu selama tiga hingga empat tahun untuk dapat dipanen oleh petani. Sedangkan insentif Rp 30 juta hanya cukup mendanai petani sawit selama satu tahun.

“Rp 30 juta per hektare itu hanya cukup untuk 1 tahun untuk menanam gitu ya. Tapi tahun ke-2, tahun ke-3 dalam pemeliharaannya nggak cukup. Makanya mungkin banyak pekebun rakyat yang belum terlalu antusias,” kata dia.

Oleh karena itu, sejak September 2024, pemerintah menaikkan insentif dana program PSR dari Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta per hektare. Kenaikan ini diharapkan dapat mendukung pencapaian target PSR sebesar 120 ribu hektare setiap tahunnya.

“Jadi, cukup signifikan. Nah harapannya dalam waktu 2 atau tidak sampai 3 bulan ini, itu bisa mencapai target atau mendekati lah 120 ribu hektare,” kata Dida.

Tantangan PSR

Dida mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam Program PSR. Pertama, anggaran yang relatif kurang menjadi kendala utama.

“Beberapa petani itu memang melakukan inovasi. Jadi sambil menunggu sawit berbuah, dia nanam pisang, ada yang menanam pepaya, tapi nggak semua petani bisa mendapatkan penghasilan ketika tanaman sela,” kata dia.

Kendala lainnya adalah sulitnya petani atau pekebun rakyat ini mendapatkan akses pendanaan, misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR).

“Itu juga untuk mendapat pinjaman atau mendapat pendanaan dari lain masih susah. Nah, oleh karenanya, kita meningkatkan dari Rp 30 per hektare menjadi Rp 60 juta per hektare,” jelas dia.

Dida juga menjelaskan, prosedur pendaftaran untuk pekebun rakyat cukup rumit. Mereka harus membawa beberapa dokumen, seperti bukti bebas kawasan hutan, dokumen hak guna usaha, dan izin berusaha.

“Jadi,sebelum daftar dia ke kantor KLHK dulu tuh untuk bebas kawasan hutan. Yang kedua dia harus bawa dokumen juga bebas hak guna usaha atau tumpang tindih ke ATR/BPN dan juga teman-teman kementan itu dia harus semacam izin berusaha lah gitu ya di perkebunan,” jelas Dida.

“Petani untuk mendaftar aja harus bawa tiga dokumen. Nah ini tidak gampang ya,” sambung dia.

Sebagai solusi, pemerintah sedang merumuskan revisi untuk menyederhanakan prosedur, memungkinkan petani untuk menyatakan sendiri bahwa lahan mereka bebas dari kawasan hutan dan lainnya.

“Mungkin dalam waktu sebentar lagi akan ada revisi dari Permentan untuk simplifikasi. Nanti para pekebun rakyat ini safe declare gitu. Bahwa saya bebas kawasan hutan, bebas yang tadi itu. Baru nanti tugas pemerintah memverifikasi,” pungkas Dida.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini