
Membangun Kawasan Industri (KEK) bukan sekadar soal menyiapkan infrastruktur fisik, tetapi juga membangun ekosistem yang mendukung kelangsungan dan pertumbuhannya.
Demikian disampaikan Direktur Pemasaran Holding PTPN III, Dwi Sutoro saat menjadi penanggap dalam Seminar “Peranan Kawasan Ekonomi Khusus Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi Industri Hilir Sawit Bernilai Tambah Tinggi”, yang didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Jakarta, Senin (4/11).
Menurut Dwi, keberhasilan KEK sangat bergantung pada pengembangan ekosistem yang mencakup bukan hanya bahan baku dan pasar, tetapi juga faktor-faktor pendukung seperti kualitas sumber daya manusia, karakter investor, hingga budaya yang terbentuk di dalam kawasan tersebut.
“Jadi, kalau kita bicara mengenai kawasan industri sawit untuk industri hilirisasi, kita kadang-kadang terjebak kepada bahan bakunya apa, hasilnya hilirisasinya apa, marketnya di mana,” kata Sutoro.
Lebih lanjut, Sutoro menegaskan, KEK sebenarnya lebih dibutuhkan oleh negara dan pemerintah daripada hanya oleh pengusaha. Pemerintah, kata dia, memerlukan KEK untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kalau dilihat dari story dari pembicara-pembicara pagi sampai sekarang bahwa dengan ambisi target delapan persen growth itu, suka tidak suka, kita harus menyediakan program untuk mendorong itu,” ujar Sutoro.
Salah satunya, lanjut Sutoro, adalah pentingnya meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) atau atau penanaman modal asing langsung, yang menjadi salah satu poin penting yang harus dikerjakan bersama.
“Tanpa itu, kalau hanya mengandalkan pertumbuhan domestik kayaknya delapan persen, ya mungkin para ekonom yang banyak mungkin di sini atau di Indonesia ini mungkin akan akan bilang berat mencapai delapan persen tanpa menaikkan FDI,” kata dia.
Nah, FDI akan mengalir ke Indonesia jika fasilitas dan ekosistem yang mendukungnya sudah terbentuk dengan baik. “Kembali kepada poin saya sebelumnya, ekosistem yang kuat adalah dasar mengapa para investor harus memilih Indonesia sebagai tujuan investasi mereka,” pungkas dia.
Selanjutnya, dia juga menekankan, KEK menawarkan berbagai fasilitas yang menguntungkan, baik dari sisi fiskal maupun non-fiskal. Ini adalah poin penting yang harus dipahami dan diperhatikan oleh para pengusaha, karena fasilitas ini memberikan banyak kemudahan dan manfaat bagi yang berinvestasi di KEK.
“Ayo, sama-sama kita pelajari dan manfaatkan kemudahan serta benefit yang ditawarkan KEK, baik itu secara fiskal maupun non-fiskal,” ujar Sutoro.
Dia juga mengingatkan bahwa meskipun aturan mengenai KEK sudah jelas, masih banyak yang belum sepenuhnya memahami bagaimana cara memanfaatkannya.
“Yang perlu diingat, KEK ini sifatnya bottom-up. Artinya, siapa pun yang siap dengan modal dan yakin bahwa ekosistem yang akan dimasuki memberikan return yang baik, silakan berlomba-lomba untuk berinvestasi di KEK,” tambah dia.
Pertumbuhan KEK
Sutoro kemudian mengungkapkan, saat ini sudah ada sekitar 7.000 KEK di seluruh dunia, dan Indonesia juga menjadi bagian dari tren global ini. Menariknya, pertumbuhan pesat KEK terjadi antara 2022 hingga 2024, dengan China menjadi negara yang mendominasi jumlah KEK terbesar.
“Kemudian negara yang dominan dari sekian KEK itu yang terbesar yang terbanyak di China. Dan, kalau kita lihat, syarat atau yang menjadi dasar utama awalnya akhirnya berkembang itu adalah industri manufacture,” kata dia.
Sutoro menjelaskan, China kini menjadi pemain utama dalam industri manufaktur dunia. “Di mana pun di dunia saat ini kalau suruh berhadapan head to head di dalam industri manufactur dengan China sepertinya akan berat sekali,” kata dia.
Berdasarkan data yang ada, kontribusi kawasan industri dan KEK di China terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu mencapai sekitar 22 persen. Selain itu, sekitar 60 persen dari total investasi yang ada di KEK China berkontribusi pada ekspor.
“Makanya luar biasa, terutama industri manufactur China itu menguasai di mana pun mau merek apapun kadang sekarang mulai akhir-akhir ini merek 5 tahun terakhir merek-merek brand-brand China mulai masuk ke mana-mana dengan brandnya,” ujar dia.
Menurut Sutoro, barang-barang dari China sebenarnya sudah lama memasuki pasar global, termasuk Indonesia, sejak puluhan tahun yang lalu, meskipun pada awalnya produk-produk tersebut tidak menggunakan merek China.
“Sekarang, China sudah mulai kuat secara struktur dan berani memasukkan produk-produk dengan brand mereka sendiri,” kata Sutoro.
Kunci Sukses China
Sutoro mengungkapkan beberapa kunci sukses yang telah membuat China sangat berhasil dalam mengembangkan KEK. Salah satunya adalah komitmen dan dukungan kuat dari pemerintah.
“Bukan industri cengeng atau apa, tetapi memang seperti yang kami sampaikan tadi, yang butuh KEK tidak hanya industri negara ini, pemerintah juga butuh KEK sebagai alat mencapai target pertumbuhan ekonomi yang disyaratkan, yaitu delapan persen,” ujar dia.
Selain dukungan pemerintah, lokasi KEK yang strategis juga menjadi faktor kunci. Sutoro menekankan, pengembangan KEK harus didukung oleh status kepemilikan yang jelas dan masa depan yang terjamin.
Hal menarik yang bisa dicontohkan di Indonesia adalah FDI dari diaspora, terutama dari pengusaha Tionghoa di seluruh dunia. Sutoro menyebutkan, diaspora memiliki potensi besar untuk menggerakkan investasi di KEK, dengan pasar yang dapat dijangkau di tempat mereka berada.
“Sekarang sudah mulai bahwa Indonesia itu diasporanya juga banyak banget dan kalau mereka bisa menaruh investasi di situ, marketnya adalah di mana mereka berada, ini akan luar biasa,” kata dia.
Sutoro juga menyoroti pentingnya adaptasi teknologi dan inovasi dalam kesuksesan pengembangan KEK, dengan memberi contoh perkembangan pesat produk-produk asal China.
Dulu, teknologi dan merek dari China sering dipandang sebelah mata, seperti yang terjadi di Indonesia dengan istilah “mocin” (motor China), di mana orang ragu membeli karena khawatir kualitasnya rendah dan daya tahannya singkat.
Namun, keadaan kini telah berubah drastis.
“Sekarang, yang terjadi sudah luar biasa gitu karena dengan dengan gap harga yang luar biasa dari investasinya juga memberikan kualitas yang yang cukup sepadan dengan cost yang harus kita keluarkan untuk mengakuisisi barang-barang tersebut,” ungkap dia.
Kendati demikian, Sutoro juga tidak menampik, meskipun keberhasilan teknologi dan manufaktur di KEK sangat pesat, ketimpangan tetap ada, terutama antara perkembangan industri dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut.
“Di China pun ada dan di Indonesia sering digaung-gaungkan dan kadang-kadang menjadi komoditi “politis” bahwa KEK hanya menguntungkan bagi investor tapi tidak membawa kesejahteraan dari masyarakat sekitar,” kata dia.
Namun, Sutoro menekankan, hal ini seharusnya menjadi lesson learned, bukan alasan untuk menghentikan pembangunan KEK. Sebaliknya, ini harus menjadi penyemangat untuk memastikan bahwa KEK membawa manfaat untuk kesejahteraan.
Kemudian, aspek lingkungan harus diperhatikan. Menurutnya, sangat penting untuk memperhatikan daya dukung lingkungan yang ada di kawasan ekonomi khusus tersebut, agar pembangunan berjalan seimbang dengan kelestarian alam.
Sutoro juga menyebutkan, meskipun kebijakan pemerintah pusat dan daerah di China sudah sangat jelas, terkadang masih ada pengaruh politik dari pemerintah pusat yang masuk ke dalam kebijakan di daerah.
“Dari data yang kami bacara masih ada, kadang-kadang juga ketidaksinkronan antara antara pemerintah pusat dan daerah. Nah, ini juga potensi terjadi Indonesia,” pungkas Sutoro.



























