Industri kelapa sawit ke depan masih akan banyak menghadapi tantangan. Berbagai isu dan kampanye negatif akan terus menerpanya, utamanya soal deforestasi. Padahal sawit telah berkontribusi dalam menjawab permasalahan global. Jika tidak ada perubahan regulasi, maka sawit dapat hilang pada 2045.
Hal tersebut disampaikan Petrus Gunarso PhD, pakar kehutanan yang juga aktivis Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) dalam acara Forum Sawit Indonesia (FoSI) yang diadakan Instiper Yogyakarta, baru-baru ini.
Menurut Petrus, hal ini terjadi karena regulasi berlebihan, di antaranya terjadi pada proses pemanfaatan lahan dimana tata ruang dan tata hutan tidak berjalan secara sinergis tetapi justru saling bertentangan.
Pendekatan produktivitas bentang alam belum menjadi panduan bagi semua sektor pengguna lahan. Sehingga bisa dikatakan, regulasi tuna data, baik berupa data luas dan produksi sawit yang tidak kunjung selesai. Kemudian, pengaturan perdagangan minyak goreng yang berdasarkan data distribusi, produksi, dan alokasi yang tidak akurat.
Kemudian soal regulasi yang tidak ramah dan cerdas, pembuatan regulasi yang kurang inklusif, dilakukan secara eksklusif dan menguntungkan sebagian pelaku usaha dan merugikan sebagian pelaku usaha lainnya.
“Akibatnya cukup fatal dan berkepanjangan, menjadi penghambat perkembangan industri kelapa sawit dan mengurangi daya saing,” ujarnya.
Petrus menilai, masalah lingkungan sudah demikian sulitnya bagi sawit. Padahal, sawit mampu menjawab tantangan atas dampak negatif dari kegiatan konversi hutan dan budidaya monokultur – produktivitas, profitabilitas, acceptabilitas. Ini tidak bisa dilakukan oleh komoditas selain sawit.
Kemudian, lanjutnya, sawit juga ikut berkontribusi dalam menjawab permasalahan global perubahan iklim-penurunan emisi gas rumah kaca, khususnya CO2 dan menjadi bagian penting dalam pengelolaan bentang alam (mosaik produktif).
Sawit juga ramah sosial yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya masyarakat tempatan- baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Sehingga tercipta, kebijakan tata kelola yang ramah, smart policy, kebijakan yang cerdas dan Good Governance dalam tata kelola perusahaan/pekebun,” kata Petrus.
Meski demikian, sawit akan terus menghadapi berbagai tantangan, di antaranya, kampanye negatif, mulai dari deforestasi, biodiversity loss, maupun moral publik versi pandangan masyarakat Eropa dan pandangan global pada umumnya.
Sementara di Indonesia secara spesifik adalah isu deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, penyebab banjir, illegal – tumpang tindih dengan kawasan hutan, sawit belum diperhitungkan perannya dalam perubahan iklim, serta diskriminasi komoditas/jenis tanaman.
“Akibatnya akan muncul post-truth, informasi tentang sawit yang keliru yang berulang-ulang dikampanyekan dan disuarakan sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran,” kata Petrus mengingatkan.
Petrus, mencontohkan berbagai isu sosial di Kalimantan Tengah akhir-akhir ini yang berkaitan dengan pembangunan plasma dan berbagai pola kemitraan, dan tuntutan masyarakat yang didukung oleh bupati yang berperan rangkap sebagai ketua adat dan kepala pemerintahan.
Kemudian, isu penegakan hukum di Riau berkaitan dengan perizinan penggunaan lahan, penetapan kawasan hidrologis gambut, pembangunan plasma.
“Selanjutnya, isu pencabutan izin oleh Kementerian LHK karena tumpang tindih dan tidak adanya izin pelepasan kawasan hutan dan model penyelesaiannya. Isu Hak Masyarakat Hukum Adat dan desa di dalam kawasan hutan dan juga penguasaan masyarakat atas kawasan hutan,” tegasnya.
Untuk itu, lanjut dia, FoSI 2022 perlu membangun peta kebijakan bersahabat menuju sawit Indonesia 2045.
Sementara itu, Pakar Hukum Kehutanan dan Perkebunan, Dr. Sadino, SH, MH mengatakan, regulasi sebagai payung hukum industri sawit masih disusun secara parsial. Jadi belum ada badan legislasi yang merancang sawit ke depan. “Regulasi sawit saling menegasikan artinya satu regulasi mematikan yang lain,” ujarnya.
Menurutnya, hingga saat ini belum ada pengganti sawit, apakah harus diamputasi. Bisa dilihat dalam putusan pengadilan, komoditas sawit seperti ingin dimatikan.
“Ketika inkrach, sawit tidak terkelola dengan baik. Seperti putusan gugatan yang mencapai ratusan miliar. Perusahaan memilih memailitkan daripada membayar. Lalu dirambah masyarakat akhirnya terkelola semrawut, lalu siapa yang mau melanjutkan itu?” katanya.
“Ditambah lagi, sekarang ada izin bebas gambut, ketika tidak dapat izin buka gambut lindung akhirnya mereka tidak tanam itu. Misalnya, di Kuansing (Riau), masyarakat tidak bisa mengajukan pinjaman karena lahan mereka masuk gambut. Kalau dikatakan petani akan dipermudah mengurus dikeluarkan dari kawasan hutan, itu tidak mungkin. Tidak ada petani diberikan jalan tol. Karena regulasinya tidak memungkinkan. Di Riau, 1,8 juta ha kebun sawit rakyat masuk kawasan hutan,” urai Sadino.
Dalam kesempatan yang sama Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Dr. Musdhalifah Machmud mengapresiasi adanya Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2022 sebagai forum tokoh dan stakeholders perkelapasawitan.
“Karena tanpanya, tidak akan industri sawit bisa berkembang seperti sekarang,” kata Musdhalifah.
Dikatakannya, dengan sinerginya begawan sawit dan pemerintah, industri sawit bisa maju dan berkembang. Meski pada awal perjalanannya ada perbedaan atau ketidaksepahaman, namun sejak membangun berbagai inisiatif untuk mengembangkan industri sawit bisa berkembang hingga saat ini.
“Maka, industri sawit pada 2045 harus lebih berjaya. Jangan berhenti dan patah semangat, Instiper harus mendukung dan mendorong industri sawit dari berbagai aspek. Kita tidak boleh berhenti mengembangkan industri sawit yang ada seperti saat ini. Industri sawit harus terus dikembangkan dan maju dengan berbagai tuntutan yang ada, seperti sustainable,” paparnya bangga.
“Saat ini, Indonesia sudah memiliki sertifikat keberlanjutan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), meski belum berkembang dan dinamis. Membangun sustainable bukan hanya untuk sawit tetapi untuk keseluruhan hidup agar berkelanjutan. Kami berharap semua calon Presiden harus mendukung industri sawit,” tambah Musdhalifah.
Sawit pada 2045 harus tetap berjaya meski dinamikanya tetap ada, teknologi ada. Semuanya akan tetap berjalan, bahkan sawit bisa menjadi energi 100%. “Semua kendaraan di Indonesia menggunakan BBM berbasis sawit, why not? Kami berharap industri sawit Indonesia pada 2045 akan tetap berjaya.”
Diketahui, FoSI 2022 dengan tema besar ‘Sawit Indonesia Menuju 2045’, berhasil menghadirkan stakeholders sawit mulai dari pemerintah, akademisi, peneliti dan pelaku usaha.
Anak-anak muda harus didorong untuk memahami potensi sawit, dengan berbagai inovasi agar lebih maju dan berkembang sehingga sawit Indonesia tetap berjaya. Anak-anak muda pada 2045 harus bisa mewujudkan industri sawit jauh lebih baik dari apa yang sekarang dan telah berkontribusi pada perekonomian nasional.
“Saya tidak mau pada 2045, orang mengkhawatirkan industri sawit. Kita sudah meletakkan dasar pondasi untuk pembangunan industri sawit untuk lebih baik lagi. Kita punya tantangan sustainable, kita bangun industri sawit yang sustainable. Kita sedang membangun landasan sustainable industri sawit yang lebih baik. Tantangan masih tetap ada, mudah-mudahan kita tetap selalu kompak dan solid dalam mengembangkan industri sawit yang lebih baik dan berkelanjutan,” jelas Musdhalifah.
Direktur Perlindungan Perkebunan, Ditjenbun, Ir. Baginda Siagian, M.Si menambahkan, Kementan optimis sawit masih tetap langgeng sampai 2045.
“Itulah peranan pemerintah kalau dikatakan siapa yag menjahit, maka ukurannya harus pas dan letaknya harus pas. Pemerintah akan lakukan itu, maka semua di ruangan ini dan insan yang ada di sini utnuk melakukan hal tersebut,” pinta Baginda.
Salah satu direktorat di Ditjen Perkebunan akan ada direkorat kelapa sawit dan palma lainnya. Kita harapkan, kelapa sawit akan disinkronisasi di sana. “Saat ini, tahap merampungkan ditargetkan akhir tahun ini akan ada Permentan baru. Nama direktoratnya adalah kelapa sawit dan palma lainnya. Ini bukti keseriusan pemerintah untuk memikikan kelapa sawit, tidak hanya 2045 melainkan 80 tahun depan,” katanya.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah menyiapkan arah dan kebijakan untuk mendukung perkebunan dan industry kelapa sawit menuju 2045 yang tertuang dalam roadmap industri kelapa sawit nasional menuju 2045. Di antaranya dengan strategi pencapaian, peningkatan produktivitas, pengembangan industry hilirisasi kelapa sawit; dan penguatan ekosistem, tata kelola dan capacity building berkelanjutan
Strategi utamanya, menurut Baginda, dengan percepatan pelaksanaan peremajaan serta perbaikan budidaya dan pasca panen/pengolahan (GAP, GHP, GMP) berbasis inovasi secara berkelanjutan.
“Kemudian dengan hilirisasi oleofood complex, oleokimia dan biomaterial complex, biofuel complex untuk subsitusi impor dan promosi ekspor. Penguatan riset-inovasi dan SDM yang lebih kreatif. Penguatan sawit rakyat dan kemitraan industri sawit berkelanjutan. Perbaikan ekosistem dan tata kelola industri sawit berkelanjutan,” pungksnya.