Menuju Industri Teh Indonesia Berkelanjutan

0

Industri teh nasional saat ini mulai kehilangan keunggulannya. OEC (2021) mencatat di tahun 2019, nilai ECI (Export Competitiveness Index) jauh di bawah 1 (satu) digit. Walau nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) masih di atas 1.

“Hal ini mengindikasikan bahwa produk teh ekspor Indonesia sedang menghadapi penurunan pangsa pasar di pasar teh dunia akibat melemahnya daya saing kompetitifnya,” ujar Ketua Umum Dewan Teh Indonesia (DTI) Rachmad Gunadi di Jakarta, Jumat, (2/12).

Berbeda dengan kondisi teh nasional, kata Gunadi, secara global terjadi peningkatan trend konsumsi teh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Global Tea Revenue mengalami peningkatan sebesar 6,79% dengan nilai bisnis setara USD 247,2 millyar.

Areal teh, produksi dan konsumsi teh dunia mengalami trend peningkatan dan perilaku konsumen terhadap produk berbasis teh sudah beralih pada produk teh yang menawarkan functionality, body immunity, equity-wellbeing, dan ecofriendly. Selama masa Pandemi Covid-19, gaya hidup konsumen terhadap customer value tersebut semakin meningkat.

Secara proyeksi permintaan pasar teh dunia hingga 2027 juga bergerak menuju pertumbuhan permintaan teh hijau dan fruit/herbal tea, sedangkan teh hitam tipe broken mulai menurun.

Dengan histori dan kompleksnya permasalahan industri teh nasional, maka solusi yang dibutuhkan sudah “beyond of capacity” para pelaku industri teh. “Pemecahan berbagai permasalahan industri teh Indonesia membutuhkan intervensi kebijakan secara langsung oleh pemerintah dalam semua elemen dan kelembagaan industri ini untuk me-“Reformatting Industri Teh Indonesia”,” jelas DTI.

Menurut Gunadi, pendekatan strategi tata kelola industri teh Indonesia tidak lagi bisa berpijak hanya pada pendekatan parsial tetapi industri teh ini perlu dilihat dalam posisinya secara global. Tea Global value chain (GVC) merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan nilai competitiveness dan keberlanjutan komoditas, industri dan bisnis.

Negara-negara produsen teh seperti Kenya, Sri Lanka dan India menerapkan pendekatan GVC untuk merumuskan berbagai intervensi kebijakan yang strategis pada setiap rantai nilai teh di negara-nya. Dalam GVC, suatu komoditas diposisikan sebagai jaringan produksi internasional dimana membutuhkan partisipasi pelaku domestik serta dapat membuka investasi langsung pada rantai nilai global di masa depan.

World Bank (2020) lebih jauh mengungkapkan kondisi Pandemi Covid-19 telah memperbesar dampak dinamika GVC yang sebelumnya mengalami stagnan oleh faktor kejenuhan pasar, geopolitik, otomatisasi, atau kapasitas lokal. Akibat Pandemi Covid-19, teknologi terdisrupsi yang mengubah produk dan layanan dirancang, didistribusikan dan dijual.

Pemberlakukan jarak sosial dan perjalanan telah membuka percepatan investasi dibeberapa teknologi ini. Tumbuhnya kesadaran akan perubahan iklim dan dorongan untuk keberlanjutan adopsi clean technology dan penerapan aturan, regulasi, dan standar baru.

Komoditas teh termasuk komoditas sub sektor unggulan perkebunan nasional yang hingga saat ini turut berkontribusi dalam perekonomian nasional di antaranya sebagai penyumbang devisa negara yang ditandai dengan kinerja ekspor impor sebesar US$ 140 juta di tahun 2021 dan perannya dalam pengembangan UMKM nasional.

Selain peran ekonomi, komoditas teh juga memiliki peran sosial budaya dan lingkungan yang sangat besar. Industri perkebunan teh mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 200 ribu pekerja dan menghidupi keluarga lebih dari 1 juta jiwa.

Manfaat bagi kesehatan dan nilai sejarah serta budaya sangat melekat pada komoditas ini. Dalam aspek lingkungan, komoditas teh berperan nyata dalam konservasi tanah sebagai penahan laju erosi dan memiliki ecosystem services lainnya yang tak ternilai.

Namun secara nasional, kondisi bisnis teh saat ini, baik dihulu dan perdagangan sangat memprihatinkan. Dalam lima tahun terakhir produksi, dan luas areal teh mengalami penurunan, diikuti penurunan produktivitas. Tercatat pada tahun 2020, Indonesia mmeproduksi sebesar 126.000 teh kering dari 113.000 hektar (Ha) lahan teh.

Di satu sisi nilai ekspor dan impor teh Indonesia juga patut untuk diperhitungkan. Tercatat pada tahun 2020 Indonesia memiliki nilai ekspor teh setara dengan USD 96,3 juta (45,3 ribu ton) dengan pasar utama negara Eropa.

“DTI sendiri dalam beberapa kesempatan terus mendorong PT Perkebunan Nusantara (PBN) agar mengambil peran penting dalam ekspor teh Indonesia. Karena ekspor terbesar teh Indonesia dari PTPN sebesar 70 persen, sedangkan perkebunan besar swasta hanya 30 persen,” papar Gunadi.

Namundi sisi lain, lanjut Gunadi, Indonesia dibanjiri oleh produk teh Vietnam, nilai impor total teh Indonesia tercatat sebesar USD 28,9 juta (14,9 ribu ton). Terlepas dari hal tersebut, penyelamatan industry teh Indonesia sangatlah penting mengingat nilai ekspor yang cukup besar dan menyumbang devisa bagi negara.

Berbagai masalah yang terjadi di industri teh nasional merupakan masalah yang sering dise¬but sebagai lingkaran masalah yang terus menerus terjadi di semua sub sistem. Akibat harga jual ren¬dah, maka ke¬bun menjadi tidak terawat, yang mengakibatkan produkti¬vitas rendah, sehingga biaya produksi tinggi, selan¬jutnya mengakibatkan kualitas teh yang dihasilkan rendah dan kembali menye¬bab¬kan harga jual teh terus menerus menurun dan menyebab¬kan kerugian yang terus menerus.

Kondisi ini semakin diperparah dengan terjadinya kesenjangan kesejahteraan antara hilir – hulu. Perusahaan-perusahaan perkebunan (PBN, PBS) maupun petani merugi, sedangkan trader (buyer) dan perusahaan hilir memetik hasil penjualan dan keuntungan yang lumayan besar.

Sejak tahun 2001, sebagian besar perke¬bunan teh, baik Teh Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan terutama Perkebunan Besar Negara (PBN) semuanya dalam kondisi merugi akibat insuffciency, inefficieny, dan inconsistency dan beresiko terjadinya ketidakberlanjutan industri teh nasional.

Networking antara market demand dengan produsen teh nasional juga menjadi permasalahan sendiri dalam keberlanjutan rantai nilai industri teh nasional. Isu-isu terkini seperti dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan di Indonesia dan di negara-negara produsen teh lainnya, persaingan lahan dengan komoditas lain, kelangkaan tenaga kerja, kenaikan harga input faktor dan upah, dsb menjadi tantangan yang harus dihadapi industri teh Indonesia.

Direktur Eksekutif DTI Harry Hendrarto mengatakan, berbagai strategi pemecahan masalah industri teh nasional sudah dilakukan sejak tahun 2013 hingga saat ini, seperti pelaksanaan program GPATN (Gerakan Penyelamaatan Agribisnis Teh Nasional) yang bertujuan untuk membangun kembali agribisnis teh agar bisa memberikan kesejahteraan bagi para pelakunya, dan dipertajam dalam penyusunan Road Map Agribisnis Teh hingga 2045 di tahun 2015.

“Namun program ini belum berhasil dan memerlukan evaluasi pada realisasi teknis di setiap value chain teh nasional,” ujar Harry.

Secara historis, komoditas teh di Indonesia juga bukan merupakan komoditas tanaman asli Indonesia tetapi warisan dari kolonial Belanda yang produksinya sudah dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa.

Rumusan Rekomendasi Kebijakan

Untuk menyiasati kondisi teh Indonesia terhadap Global, permasalahan dan tantangan bagi industri teh Indonesia, DTI mengeluarkan rekomendasi rumusan usulan kebijkan bagi pemerintah, diantaranya

1) Kebijakan Onfarm

a. Dukungan fasilitasi kombinasi penggunaan pupuk organik/hayati dengna kimia sebagai Langkah efisiensi penggunaan pupuk kimia sembari menjaga stabilitas produksi

b. Penetapan standar mutu dan formula harga terendah pucuk basah petani secara berkala

2) Kebijakan Off Farm

a. Dukungan untuk fasilitasi rehabilitasi kebun dan modernisasi melalui strategic partenship dengan skema joint venture, sehingga pekebun memiliki investasi untuk pupuk dan perbaruan pabrik

b. Dukungan langkan kemandirian energi untuk pengolahan, sebagai Langkah untuk efisiensi energi dan keberlanjutan.

3) Kebijakan harga dan Tata Niaga

a. Fasilitasi dan penguatan market place teh dalam bentuk Indonesia Tea Auction sebagai barometer teh Indonesia yang didukung dengan bridging finance;

b. Fasilitasi market place untuk teh premium

c. Fasilitasi Sistem Intellegence Marketing Teh

d. Penetapan teh sebagai kategori utama produk Kesehatan dan Kelestarian lingkungan yang didukung edukasi dan promosi yang terencana dengan baik

e. Penguatan tariff barrier dan non tariff barrier untuk produk teh impor

4) Kebijakan Investasi

a. Fasilitasi dan penguatan market place teh dalam bentuk Indonesia Tea Auction sebagai barometer teh Indonesia yang didukung dengan bridging finance;

b. Fasilitasi market place untuk teh premium

c. Fasilitasi Sistem Intellegence Marketing Teh

d. Penetapan teh sebagai kategori utama produk Kesehatan dan Kelestarian lingkungan yang didukung edukasi dan promosi yang terencana dengan baik

e. Penguatan tariff barrier dan non tariff barrier untuk produk teh impor

5) Kebijakan RnD

a. Penguatan inovasi, diseminasi, dan adomsi teknologi baik on farm maupun off farm

b. Mitigasi Langkah-langkah dan teknologi perubahan iklim

6) Kebijakan Kelembagaan

a. Revitalisasi posisi dan kewenangan DTI sebagai industry governing body

b. Penyusunan penyelerasan model bisnis dan industri pelaku teh Indonesia

c. Peningkatan kesejahteraan pelaku industri teh

Rencana Tindak Lanjut tahun 2023

• Pengawalan program kebijakan;

• Perencanaan kajian kelembagaan DTI sebagai governing body dan market place teh;

• Implementasi pupuk kombinasi dan transformasi energi;

• Edukasi dan promosi teh sosialisasi program

Tahun 2024

• Penguatan dan fasilitasi program DTI (kelembagaan, supply chain system, financial, inovasi);

• Penguatan program rehabilitasi kebun dan modernisasi pabrik

Tahun 2025

Implementasi dan Monev program dari dukungan kebijakan prioritas DTI

DIharapkan dengan 6 kluster usulan rekomendasi kebijakan dan rencana tindak lanjut jangka pendek, dan menengah harapannya dapat berkontribusi terhadap penignkatan induksti teh Indonesia sehingga bisnis teh kembali menggeliat dan Berjaya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini