Gapki Ungkap Dua Penyebab Produksi Sawit Lesu Tahun 2024

0
Pekerja menunjukkan brondolan sawit dengan kedua tangannya. Dok: PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menyebutkan, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia turun 3,8 persen dibandingkan tahun lalu, dari 54,8 juta ton menjadi 52,7 juta ton. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gapki, Hadi Sugeng, mengatakan bahwa banyak penyebab yang mempengaruhi rendahnya produksi tahun ini, di antaranya fenomena El Nino yang memperburuk cuaca dan kondisi tanaman sawit yang sudah menua.

“Kinerja tahun 2024 sepertinya banyak sekali merahnya, dan untuk produksi kita juga akhirnya harus nyerah minus 3,8 persen. Dari tahun lalu 54,8 juta ton, tahun ini kita hanya bisa 52,7 juta ton,” kata Hadi Sugeng dalam Konferensi Pers dan Syukuran HUT Gapki ke-44 di Jakarta, Kamis (6/3).

“Ini banyak yang mengaruhi karena El Nino tahun sebelumnya yang mengaruhi produksi kita. Di samping itu juga adanya beberapa tanaman-tanaman menuat kita, sehingga itu berkontribusi juga untuk rendahnya produksi kita di tahun ini,” sambung dia.

Hadi Sugeng menuturkan, kinerja produksi sawit dalam lima tahun terakhir cenderung melandai. Dengan kata lain, tidak ada lonjakan signifikan dalam produksi, baik dari sisi volume maupun produktivitas per hektare.

“Kami analisa di sekitar lima tahun kebelakang itu produk kita itu di antara 51-54 juta ton lah. Jadi, di situ-situ aja angkanya. Kemudian produksi tahun 2024 yang saya sampaikan juga minus,” kata Hadi Sugeng.

Di sisi lain, lanjut Hadi Sugeng, konsumsi dalam negeri terus meningkat setiap tahun, dan pada 2025 diperkirakan akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan blending (campuran) biodiesel, yang naik dari B35 ke B40.

Berdasarkan catatan Gapki, total konsumsi tahun 2024 diperkirakan mencapai 23.859 ribu ton, meningkat 2,78 persen dibandingkan konsumsi tahun 2023 yang sebesar 23.213 ribu ton. Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh konsumsi biodiesel.

Sementara itu, konsumsi untuk pangan diperkirakan mencapai 10.205 ribu ton, turun 0,90 persen dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 10.298 ribu ton. Sedangkan konsumsi oleokimia mencapai 2.207 ribu ton, turun 2,69 persen dari 2.268 ribu ton pada tahun 2023.

“Jadi, ini menjadi tantangan kita sendiri bagaimana kita di satu sisi kebutuhan domestik terus meningkat, tetapi di sisi yang lain bagaimana hulunya produksi kita itu bisa mengimbangi,” kata Hadi Sugeng.

Menurut dia, jika produksi tidak ditingkatkan di hulu sementara konsumsi terus meningkat, ekspor yang akan dikorbankan. Jika ekspor terganggu, dampaknya akan sangat luas, termasuk pembiayaan untuk biodiesel, PSR dan program-program lainnya.

Lebih lanjut, dia mengingatkan, ekspor sawit Indonesia cenderung menurun setiap tahun. Tahun lalu, ekspor sawit Indonesia mencapai 32,2 juta ton, namun tahun ini terkoreksi 8,3 persen, hanya mampu mencapai 29,5 juta ton.

Penurunan ekspor ini, lanjut Hadi Sugeng, juga berdampak pada nilai ekspor. Nilai ekspor sawit Indonesia turun 8,5 persen, dari 30,3 miliar dolar tahun lalu menjadi 27,7 miliar dolar atau sekitar Rp 432,12 triliun.

“Ekspor ini kecenderungannya setiap tahun menurun. Jadi, berbanding terbalik dengan konsumsi yang terus meningkat tahun demi tahun. Karena apa? Produksi kita biasa-biasa saja,” kata Hadi Sugeng.

Hadi Sugeng menambahkan, jika ekspor terus menurun akibat rendahnya produksi, potensi pasar yang hilang akan menjadi ancaman jangka panjang bagi Indonesia.

“Kalau melihat negara tujuan ekspor kita di tahun lalu, sebagian besar kita minus kecuali hanya di Pakistan dan di Timur Tengah, selebihnya adalah minus,” kata Hadi Sugeng.

Berdasarkan catatan Gapki, ekspor sawit Indonesia pada tahun 2024 mengalami penurunan sebesar 2.680 ribu ton, dari 32.215 ribu ton pada tahun 2023 menjadi 29.535 ribu ton. Penurunan ini tercatat sebesar 8,32 persen.

Penurunan terbesar terjadi untuk tujuan ekspor ke China, yang mengalami penurunan sebesar 2.381 ribu ton, diikuti India dengan penurunan 1.136 ribu ton. 

Sementara itu, penurunan juga tercatat pada negara-negara lain seperti Bangladesh, Malaysia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil.

“Ini banyak hal yang mempengaruhi, di antaranya volume kita yang kita jual juga terbatas, harga minyak sawit itu sudah tidak lagi murah, sudah sangat mahal dibandingkan dengan minyak nabati yang lain,” imbuh Hadi Sugeng.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini