
Global Inspeksi Sertifikasi (GIS) menggelar diskusi bertajuk ‘Peranan Pemerintah dalam Percepatan Sertifikasi ISPO Pekebun dan Perusahaan’ di Starlet Hotel Serpong Tangerang, Senin (26/8).
Dalam sambutannya, Direktur Utama PT GIS, Vera Marini, mengungkapkan bahwa diskusi ini bertujuan untuk menyampaikan informasi penting terkait ISPO hilir, yang ke depan akan diwajibkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Vera menyebutkan bahwa informasi ini belum sepenuhnya diketahui oleh semua pihak. Selama ini, lanjut dia, informasi terkait ISPO lebih sering disampaikan oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
“Ini informasi penting yang kita rasa publik wajib tahu. Ada standar baru nanti di ISPO hilir. Kan taunya cuma ISPO hulu aja di bawah Kementan, ternyata ada ISPO hilir di bawah Kemenperin,” kata Vera.
Vera menyampaikan bahwa pihaknya selalu berada di garis depan dalam mengupdate standar baru, dengan tujuan agar publik dan semua pihak memahami perubahan, khususnya terkait sertifikasi ISPO hilir.
“Karena bagaimanapun ini terkait dengan keberlanjutan perkebunan sawit kita. Jadi dari hulu, supply chain-nya itu terkait dengan sustainability-nya, kita memiliki standar,” kata Vera.
Sementara itu, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin, Setia Diarta, menjelaskan bahwa Perpres ISPO yang sedang direvisi akan mencakup tidak hanya sektor hulu perkebunan, tetapi juga industri hilir, pengelolaan hilirisasi, dan industri bioenergi.
“Ini akan menjadi concern di Perpres ini dan isu sustainability dan traceability tetap akan menjadi faktor pendorong utama, selain tata kelola dan ketaatan terhadap hukum juga menjadi posisinya,” kata dia.
Setia menjelaskan, Kemenperin harus menyiapkan peraturan turunan dari Perpres dalam waktu maksimal 2 bulan setelah Perpres ditetapkan. Bentuk pengaturannya bisa berupa mass balance atau segregasi.
“Kalau seandainya memang sudah dipastikan dari hulunya memiliki sertifikat ISPO, berarti kita sudah menggunakan segregasi saja. Tapi kalau belum, kita harus menggunakan mass balance, di mana harus dipisahkan mana yang belum tersertifikat atau tidak,” jelasnya.
Dalam pelaksanaannya nanti, kata dia, sistem ISPO hilir akan menggunakan barcode yang akan melacak produk hingga ke tahap pembeli. Barcode ini akan diterapkan dari industri pengolahan hingga ke trader, dan bahkan sampai ke kebun.
“Jadi ini perlu integrasi antara kebun sampai dengan industri pengolahan, termasuk dengan buyer, entah itu buyernya dalam negeri atau buyernya luar negeri,” ujar Setia.
Untuk ekspor, barcode akan berfungsi hingga tahap bea cukai, dan setelah itu mekanisme pembeli yang berlaku di negara tujuan akan diterapkan.
Tujuannya adalah memastikan setiap produk yang telah melalui proses hilirisasi dapat terlacak dari pabriknya, proses pengolahan, hingga kebun asalnya, sehingga seluruh rantai pasokan terdaftar dengan baik.
“Implikasinya semua struktur rantai pasok ini nanti mesti teregister,” kata dia.
Kemudian, Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, mengatakan bahwa sertifikasi ISPO adalah suatu keharusan untuk mengelola kelapa sawit secara berkelanjutan.
“Kalau kita mau mengelola kelapa sawit berkelanjutan, kita memang harus memenuhi aspek-aspek traceability,” kata dia.
Oleh karena itu, Sunari berharap PT GIS, sebagai entitas dalam industri kelapa sawit, tidak hanya berfungsi sebagai lembaga sertifikasi (LS), tetapi juga dapat mendorong para pekebun untuk melakukan sertifikasi ISPO.
“Kami ingin GIS bekerja sama dengan kami untuk mensosialisasikan dan memfasilitasi partisipasi dalam ISPO, yang kini mencakup tidak hanya sektor hulu tetapi juga hilir,” ungkap Sunari.
Adapun Wakil Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (Waketum GPPI), Dedi Junaedi, menyampaikan bahwa sampai saat ini capaian sertifikasi ISPO masih jauh dari target yang diharapkan.
“Jadi dari total 16,38 juta hektare lahan sawit, capaian sertifikasinya masih di bawah 30 persen. Apalagi, kalau kita berbicara dengan petani. Ini sungguh sangat memperhatinkan,” kata dia.
Dedi, yang juga Tenaga Ahli ISPO KAN, menjelaskan bahwa rendahnya capaian sertifikasi ISPO disebabkan oleh tantangan dalam proses pengajuan, terutama pada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
“Jadi memang tantangan itu sebetulnya pada saat mulai syarat pengajuan. Pasti merasakan bagaimana mungkin kaitannya misalkan untuk kelas kebun, atau pada saat perusahaan ini menyiapkan internal auditor,” jelas Dedi.
Dedi mencatat terdapat banyak keluhan mengenai persyaratan kelas kebun minimal 3. Oleh karena itu, dalam revisi Perpres mendatang, kelas kebun mungkin tidak lagi menjadi salah satu syarat pendaftaran.
“Jadi nanti diperiksanya pada saat verifier, ya, pada saat sudah auditor ke-2 mungkin nantinya,” kata dia.
Bagi perusahaan, kata Dedi, tahap audit, khususnya tahap pertama, adalah yang paling berat. Pada tahap ini, perusahaan harus menyiapkan SOP dan memenuhi berbagai kriteria yang ada, yang dapat melibatkan hingga 412 verifier.
“Jadi ada 7 prinsip, 38 kriteria, 170 indikator. Kami memahami itu sangat berat. Tetapi untuk tahapan selanjutnya, istilahnya hanya kalau ada temuan-temuan mungkin ya pada saat surveillance,” kata dia.