
Kementerian Pertanian (Kementan) terus memperkuat database petani kecil (smallholders) untuk memenuhi prinsip European Union Deforestation-free Regulation (EUDR).
Diketahui kriteria utama dalam EUDR adalah produksi bebas deforestasi, ketertelusuran sumber daya produk, dan kegiatan produksi yang legal, seperti legalitas tanah, perlindungan lingkungan, dan penjaminan hak tenaga kerja.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementan, Prayudi Syamsuri mengatakan, kesiapan dan strategi petani sawit kecil menghadapi EUDR dibahas pada pertemuan kedua Ad Hoc Joint Task Force (JTF).
“Yang menjadi poin dibicarakan dengan pihak Uni Eropa terkait legalitas di smallholders. Karena salah satu poin yang menjadi perhatian EUDR adalah deforestasi,” kata Prayudi kepada wartawan Majalah Hortus, baru-baru ini.
Terkait dengan legalitas sawit, Prayudi menyampaikan pada pertemuan itu bahwa Indonesia telah memiliki kebijakan moratorium atau penghentian pemberian izin baru pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit sejak 2011.
“Kami sampaikan, kami telah memiliki regulasi terkait dengan tidak adanya pengembangan sawit lagi sejak tahun 2011. Moratorium itu menyampaikan agar pengembangan perkebunan tidak berasal lagi dari kawasan hutan,” kata Prayudi.
Sisi lain, lanjut dia, Kementan mempunyai sistem Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), yang merekam secara lengkap budidaya kelapa sawit, jauh sebelum Uni Eropa menerbitkan regulasi yang mengharuskan adanya traceability dan bebas deforestasi.
Pada STDB tersebut telah ada informasi terperinci terkait kepemilikan lahan siapa, luas lahan berapa, tanamannya tanaman apa, jumlah tanamannya berapa, jumlah produktivitas, dan yang penting di situ terjawab clean and clear di luar kawasan hutan.
“Sebenarnya konsep kita sudah ada, tapi adanya EUDR ini rupanya mempercepat upaya kita. Ini sudah lama dibangun STDB, Siperibun, tapi belum dilihat manfaatnya. Tapi sekarang dengan adanya EUDR rupanya diminta ketertelusuran. Ternyata traceability harus penguatan database,” kata dia.
Prayudi memastikan, petani kecil yang memiliki STDB telah dipastikan clean and clear tidak malakukan perusakan hutan untuk mengembangan sawit atau komoditas perkebunan lainnya, seperti kakao, karet, dan kopi.
“Nah, nanti data-data STDB ini akan masuk menjadi sistem traceability. Jadi, akan terlihat nanti sistem traceability itu bisa di-tracing ke belakang oleh negara importir (konsumen). Itu yang sedang kita siapkan traceability,” kata dia.
Terkait hal ini, kata Prayudi, pihak Uni Eropa sangat memahami dan menyatakan tayangan yang disampaikan pada JTF kedua di Putrajaya, Malaysia pada 2 Februari 2024 itu cukup informatif.
“Uni Eropa sangat memahami dan katanya tayangan saya cukup informatif karena kita di smallholders itu menekankan bagaimana penguatan STDB ini. karena yang mau dijawab adalah geolocation. Geolocation itu STDB itu ada, bahkan dia (Uni Eropa) meminta tidak usah ada geolocation di bawah empat hektare,” kata dia.
Lantas, Prayudi menargetkan 1 juta STDB tahun ini terbit dari 2,5 juta petani sawit kecil berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Dia mangakui, pendataan ini sebagai pekerjaan besar, tetapi mau tidak mau harus dikerjakan.
“Harapan kita nanti ada 2,5 juta STDB diterbitkan dan menjadi bagian dalam sistem pemasaran. Itu pekerjaan besar, tapi mau tidak mau kita harus kerjakan,” kata Prayudi.
Terkait tenggat EUDR yang jatuh pada Desember 2024, Prayudi mengatakan tengah mempersiapkan srategi agar ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa tetap berjalan sembari tetap melakukan persiapan di dalam negeri.
Menurut Prayudi, total ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa hanya sedikit, kisaran 10 persen. Sehingga, jika target penerbiatan STDB tidak seratus persen, opsinya adalah memilah pekebun dan perusahaan yang sudah memenuhi kelayakan.
“Nah, ini saya lagi mau diskusikan dengan teman-teman di GAPKI dan perusahan yang lain lebih fokus. Artinya, tidak 100 persen STDB tahun ini. Okelah 10 persen, 50:50 dari perusahan 5 persen dan 5 persen lagi kita cari pekebun,” ujar dia.
Meski demikian, Prayudi mengatakan, saat ini tengah membentuk tim penanggung jawab dari stafnya untuk mengawal dan mengawasi percepatan penerbitan STDB di sentra sawit Indonesia.
“Kami ada Gercep (Gerak Cepat) STDB. Saya bikin pj per provinsi di staf saya, agar 10 sentra sawit itu dipegang dari masing-masing koordinator di sini,” kata Prayudi, yang juga alumnus IPB University Fakultas Pertanian Jurusan Agribisnis itu.
Jika 30 persen pekebun sawit sudah mendapatkan STDB, Prayudi yakin itu sudah mampu mengisi permitaan pasar dari Negara Biru tersebut.
“Jadi, dari sisi keluar kita tetap ada negosiasi diplomasi bagaimana mekanisme metologinya, traceability. Satu sisi di dalam kita terus mempersiapkan. Harapan kita jangan ada yang terganggu, terutama smallholders,” imbuh dia.