Sejak diluncurkan pada 2017, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) belum pernah satu kalipun mencapai target yang diharapkan.
Realiasasi program PSR rata-rata hanya mencapai 50.000 hektare per tahun. Angka ini jauh lebih kecil, bahkan kurang dari 30 persen, dari target yang dipatok oleh Presiden Joko Widodo yakni sebesar 180.000 hetare per tahunnya.
Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB), Budi Mulyanto menyebut rendahnya capaian PSR karena pemerintah mengharuskan pekebun yang ingin mengikuti program tersebut mengantongi legalitas lahan.
“Kendalanya itu yang paling penting kan selalu soal harus ada legalitas lahan. Itu yang paling mengendala. Mengapa mengendala? Karena itu diposisikan di dalam kawasan hutan,” kata Budi saat dihubungi Majalah Hortus, Jumat (31/5).
Harusnya kalau ingin program PSR ini tercapai, lanjut Budi, legalitas lahan tidak harus berupa sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“(Tapi juga bisa berupa) surat keterangan dari desa kemudian bukti pembelian atau lainnya. Hal semacam itu menurut saya sih harus ada pemahaman yang komprehensif kaitannya dengan legalitas lahan,” kata Budi.
Budi menyayangkan mengapa persoalan legalitas lahan yang menghambat PSR ini tidak diselesaikan. Padahal, kata dia, penyelesaiannya tidak susah karena masyarakat bisa berpartisipasi menunjukkan lokasi kebunnya.
“Saya pikir itu penyelesaian tidak susah karena masyarakat bisa berpartisipasi menunjukkan lokasinya dan kalau soal keterangan dari desa, apa susahnya. Jadi, kalau menurut saya sih urusan seperti itu harus diselesaikan secepatnya,” ujar Budi.
Karena itu, Budi mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera melepas kawasan hutan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Jadi, hal-hal seperti ini agar segera KLHK melepas dan disertifikatkan ATR/BPN dan kemdudian diberi dana PSR oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Jadi, harus penyelesai lahan sawit,” kata dia.
Diketahui pemerintah akan menaikkan dua kali lipat dana PSR menjadi Rp 60 juta per hektare mulai bulan Mei tahun 2024. Keputusan ini diambil untuk meningkatkan target program replanting petani sawit.
Akan tetapi dikatakan Budi, tambahan dana PSR tidak akan berhasil mendongkrak capaian peremajaan sawit apabila legalitas lahan sawit tidak diselesaikan lebih dahulu. Diketahui, ada 3,4 juta hektare lahan sawit saat ini diklaim kawasan hutan.
“Kalau kendala itu tidak diselesaikan itu masih ke pingpong. Misalnya, antara ATR/BPN dan Kehutanan,” kata Budi.
Menurut Budi, jika masalah legas lahan ini tidak bisa diselesaikan oleh KLHK dan ATR/BPN, dan Kementerian Pertanian (Kementan), Presiden harus bisa turun tangan atas nama sawit rakyat.
“Kalau berbagai kementerian ini tidak bisa, ya persidenlah yang harus melakukan itu atas nama sawit rakyat, atas tanah-tanah rakyat. Karena kalau rakyat punya sertifikat legalitas, rakyat akan lebih mudah berpartisi untuk pembangunan,” kata dia.
“Kalau dia legalitasnya jelas, sertifikatnya ada pasti dia bayar bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun,” sambung Budi.
Di samping itu, lanjut Guru Besar IPB ini, pekebun atau petani akan melakukan budidaya sawit dengan nyaman, sehingga produktivitasnya akan jauh lebih baik daripada yang saat ini.
“Lembaga-lembaga pemerintah juga akan memberikan pelayanan yang lebih bagus kepada masyarakat, listrik dipasang, dan jalan dibagun,” imbuh mantan Direktur Jenderal Pengadaan Tanah ATR/BPN.