
Kopi termasuk dalam komoditas yang diatur oleh EUDR (European Union Deforestation Regulation) alias peraturan deforestasi Uni Eropa, yang akan mulai berlaku Januari tahun 2025.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP), Kementerian Pertanian (Kementan), Prayudi Syamsuri menyoroti kekhawatiran pemerintah tentang dampak regulasi ini terhadap pasar kopi.
“Jadi, kita bahagia memasuki tahun baru, tapi kita juga lagi waswas, terutama kami di pemerintahan, jangan sampai terbitnya matahari di tahun baru 2025, pasar kopi kita terganggu. Itu yang kita lagi khawatirkan,” ungkap Prayudi baru-baru ini di Serpong.
Prayudi, yang juga peraih Satyalencana Karya Satya XX ini menyebutkan jika kebijakan Uni Eropa tersebut tidak bisa dipenuhi maka seperempat kopi Indonesia akan terganggu.
“Kopi kita di ekspor ke dunia, rupanya nomor satu ke Uni Eropa kalau pakai data ini tahun 2022. Artinya bahwa 25 persen ekspor kopi Indonesia itu ke Uni Eropa. Berarti seperempat ekspor kopi kita ke Uni Eropa,” kata Prayudi.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 ekspor kopi Indonesia sebesar 433.780 ton dengan US$1,14 miliar. Volumenya mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 380.173 ton dengan nilai US$842,52 juta.
Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor sawit Indonesia ke Benua Biru yang hanya delapan persen.
“Kalau bermasalah ke Uni Eropa, maka seperempat pasar kita terganggu. Ini jauh lebih besar dari sawit kita yang hanya delapan persen ke Uni Eropa. Jadi, perhatian kita sekarang ke kopi seperempat itu,” kata dia.
Pekebun kopi menjadi fokus perhatian pemerintah, terutama karena kesiapan mereka menghadapi regulasi Uni Eropa masih jauh dari memadai. Dari total 1,8 juta pekebun kopi di Indonesia, baru sekitar 0,21 persen yang sudah terdaftar di STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya).
Jumlah ini masih sangat kecil, padahal tenggat penerapan kebijakan EUDR hanya tinggal tiga bulan lagi. Artinya, waktu terus berkurang, sementara sebagian besar pekebun belum siap memenuhi syarat administrasi yang diperlukan untuk tetap bisa mengekspor ke pasar Eropa.
STDB merupakan dokumen yang menjamin legalitas kegiatan budidaya, memastikan bahwa kegiatan budidaya tidak terkait dengan deforestasi, dan mencantumkan koordinat dan poligon lokasi perkebunan.
Dengan terdaftar di STDB, pekebun dapat memenuhi permintaan pasar dalam konteks EUDR, yang menekankan pentingnya bebas deforestasi, legalitas usaha, dan traceability atau kemampuan untuk ditelusuri.
“Waktu kita hanya tiga bulan menghadapi terbitnya matahari di tahun 2025. Oleh karena itu, jawaban kita, mari kita sama-sama. Bisa enggak, Pak Ketum, kita prioritas kepada ekspor data kita yang sudah melayani ke Eropa.
Prayudi mengusulkan untuk memprioritaskan ekspor data pekebun kopi yang sudah melayani pasar Eropa. Jika diidentifikasi, sekitar seperempat dari total ekspor menuju Eropa, sehingga perlu fokus pada sekitar 480.000 STDB.
“Jadi, kalau dengan demikian, maka target prioritas STDB kita adalah 480.000 STDB. Nah, ini menurut saya, dari Dewan Kopi dengan 17 asosiasi, kami siap bersama-sama dengan Bapak-Ibu,” kata dia.
“Kalau ada minta admin untuk STDB, minta ke kami, ada namanya chef reporting. Ini kami mau coba percepat STDB untuk menjawabkan tantangan kita ke depan,” sambung Prayudi.
Di sisi lain, Prayudi mengatakan, saat ini pemerintah terus melakukan diplomasi sembari mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan yang dipersyaratkan dalam kebijakan EUDR tersebut.
“Dalam perdagangan dunia, sekarang kita punya koneksi global. Kalau dalam bahasa perdagangan, kita memiliki satu mata uang yang memiliki dua sisi,” ungkap Prayudi.
Sisi pertama adalah diplomasi. Di sinilah peran penting Duta Besar Indonesia dan timnya untuk melakukan negosiasi agar kopi serta komoditas utama tetap terlindungi dan tidak terganggu.
“Di situlah peran Pak Dubes dan yang lain-lain. Bagaimana kita mendiplomasikan diri, bagaimana kita bernegosiasi, agar kopi kita dan komoditas utama kita tidak terganggu,” pungkas Prayudi.