Masa Depan Industri Gula Masih Menjanjikan

0

 

Industri gula masih menjanjikan, pasalnya kebutuhan gula terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perlu peningkatan produksi agar tak selalu mengandalkan import gula dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Dwi Purnomo Putranto mengatakan, peningkatan produksi gula adalah suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi dan industri terus meningkat dan tidak mampu diimbangi peninkatan produksi gula dalam negeri.

“Masih banyak permasalahan dalam meningkatkan produksi gula nasional, diantaranya adalah, produktivitas gula yang cenderung terus menurun yang disebabkan, sulitnya menambah areal tanaman tebu, kemudian belum adanya penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah,” kata Dwi di Jakarta, Rabu, 8/11/2023.

Selain itu, lanjut Dwi, impor gula yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan antara lain, karena harga gula di pasar Internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi yang sebenarnya, karena dijual di bawah ongkos produksinya.

Dan selanjutnya, harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien.

“Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pengembangan industri gula di masa yang akan datang   ditujukan untuk melakukan rehabilitasi PG di Jawa, sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar Internasional.

Dwi mengakui, harga gula cenderung volatail atau tidak stabil, hal ini terlihat denngan melonjaknya harga gula dunia melonjak hingga US$26-27 sen per pon. Hal ini disebabkan karena, India salah satu eksporter gula terbesar di dunia menghentikan ekspor. Kemudian di Pelabuhan Santos Brasil terjadi penumpukan  barang-barang baik yang mau diekspor dari berbagai komoditas, kalau sekarang order, antriannya 2 bulan.

“Harga cenderung tak stabil, misalnya hari ini sudah Rp15.500-Rp15.600, bahkan kemarin sampai Rp15.900. Kalau harga sudah begitu, harus disesuaikan karena ini bukan cuma Indonesia, tapi seluruh dunia,” lanjutnya.

Untuk harga gula yang tidak stabil, lanjut Dwi, peningkatan produksi gula dalam negeri harus segera diwujudkan dengan berbagai cara, diantaranya; riset perlu digalakkan lagi untuk mendapatkan varietas unggul dengan potensi produksi diatas 90 ton per hektare (ha) dengan rendemen di atas 10%.

“Ironinya, Lembaga riset gula dalam negeri kurang berkembang karena sulitnya pendanaan. Kita iri melihat sawit memiliki BPDPKS yang membantu pembiayaan riset dan peremajaan tanaman,” kata Dwi.

Sejatinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (biofuel).

“Perpres itu dikeluarkan dalam rangka mewujudkan swasembada gula nasional guna menjamin ketahanan pangan, ketersediaan bahan baku dan bahan penolong industri serta mendorong perbaikan kesejahteraan petani tebu. Dan, juga guna mewujudkan ketahanan energi dan pelaksanaan energi bersih melalui penggunaan bahan bakar nabati (biofuel), perlu ditingkatkan produksi bioetanol yang berasal dari produksi tebu,” lanjutnya.

Percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel) dilakukan oleh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau badan usaha swasta sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Terdapat peta jalan atau roadmap untuk mencapai tujuan tersebut. Setidaknya ada lima poin yang disinggung dalam Perpres 40/2023.

Pertama, peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 ton per hektare melalui perbaikan praktik agrikultur berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan tebang muat angkut. Kemudian penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700.000 hektare yang bersumber dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat dan lahan kawasan hutan.

Poin ketiga yaitu peningkatan efisiensi, utilisasi dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai rendemen sebesar 11,2 persen; peningkatan kesejahteraan petani tebu; dan peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu paling sedikit sebesar 1.200.000 kilo liter (kL).

Pencapaian swasembada gula untuk kebutuhan konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) diwujudkan paling lambat pada tahun 2028. Sedangkan pencapaian swasembada gula untuk kebutuhan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) diwujudkan paling lambat pada tahun 2030.

Peta jalan ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian berdasarkan hasil koordinasi dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan pihak terkait.

“Dengan adanya Perpres tersebut, mestinya industri gula dalam negeri bisa berjalan maksimal,” pungkas Dwi.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini