Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengumumkan bahwa pelaksanaan regulasi Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR) akan ditunda dari 2025 menjadi 2026.
“EUDR akan ditunda penerapannya sampai satu tahun mendatang dari jadwal pelaksanaan (akhir Desember 2024),” kata Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI, Dida Gardera dalam pembukaan Pekan Riset Sawit Indonesia 2024 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/10).
Dida mengatakan, EUDR ini merugikan Indonesia karena menggunakan data yang tidak relevan seperti peta kondisi hutan Indonesia tahun 2020 yang dibuat berdasarkan versi mereka sendiri. Pada 2020, kondisi hutan Indonesia masih hijau tetapi tidak ada apresiasi dari Eropa.
“Jadi, ada beberapa hal kita dari EUDR kurang sebab datanya tidak sesuai seperti peta hutan Indonesia,” kata Dida.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPOÂ yang dimulai semenjak 2011.
“ISPO sudah diterapkan dari 2011. Lalu, kita lakukan intensifikasi sawit. Dana PSR naik dari Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta per hektare,” jelas Dida.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa penundaan pelaksanaan EUDR merupakan hasil desakan dari Indonesia, serta dukungan bipartisan dari Amerika Serikat di kongres dan senat, kanselir Jerman, dan Sekretaris Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Bagi Indonesia, yang penting adalah implementasi kebijakannya, bukan hanya sekadar ditunda,” kata Airlangga.
Sejak tahun lalu, Indonesia telah meminta agar implementasi kebijakan EUDR dibahas bersama, hingga akhirnya dibentuk joint task force (JTF) yang melibatkan Indonesia, Uni Eropa, dan Malaysia.
Airlangga menyoroti kekhawatiran Indonesia terkait regulasi Uni Eropa, terutama permintaan detail geo-location. Meskipun Indonesia sudah memiliki dashboard nasional untuk memantau komoditas yang bisa diakses Uni Eropa, mereka tetap menginginkan informasi lebih rinci, yang dianggap mengancam keamanan negara.
“Kalau negara kita diakses secara koordinat oleh orang luar, ini kan masalah keamanan. Itu yang kita keberatan. Kita sudah punya pola, tapi mereka juga masih keberatan dengan pola yang kita buat,” ujar Airlangga.
Selain itu, Indonesia juga mengkhawatirkan Uni Eropa yang seolah berperan sebagai lembaga pemeringkat (rating agency). Padahal, peran itu telah dijalankan oleh lembaga-lembaga lain yang memang bergerak di bidang pemeringkatan.
Airlangga juga menekankan pentingnya pengakuan terhadap standar keberlanjutan yang ada, seperti ISPO untuk Indonesia, MSPO untuk Malaysia, dan RSPO di Eropa. Namun, EUDR tidak mau mengakui standar lain.
“Jadi, itu tiga isu yang terus diperjuangkan oleh Indonesia dan Malaysia dalam JTF,” tutur Airlangga.