Produk Biodiesel Indonesia Lebih Unggul Dibandingkan Produk Eropa

0

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menyakini produk biodesel Indonesia lebih unggul  dibanding biodiesel di Eropa.

Vice Chair on Research and Technology APROBI, Jummy Bismar Sinaga mengatakan pada awalnya biodiesel Indonesia memiliki 7 parameter kualitas, tapi saat ini sudah memiliki 23 parameter.

“Dulu warna itu enggak jadi parameter. Tapi untuk keberterimaan warna bagi konsumen, maka warna diatur. Dari 7 parameter sekarang ada 23 parameter. Terkhusus untuk kadar air saya soroti, Eropa masih menggunakan 500 PPM kandungan air, Indonesia sudah 320 PPM saja. B40 Indonesia akan lebih baik lagi ke depannya,” ujar Jummy dalam diskusi rangkaian Pekan Riset Sawit (PERISAI) 2024 di BNDCC Nusa Dua, Kamis (3/10/2024).

Dia mengatakan, dengan kualitas yang semakin baik sebagai produk subsitusi minyak solar, dproduksi Dan dikelolah Dari bahan Baku minyak sawit yang ramah lingkungan Dan tidak melakukan praktek-praktek ahli fugsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, kedepan Indonesia memiliki IBSI yaitu Indonesia Bioenergy Sustainability Indicator, sebagai alat untuk memastikan mampu telusur Dari Hulu hingga menjadi BIODIESEL sebagai produk hilir. Hal tersebut Indonesia mau serius menunjukkan ke dunia, bahwa biodiesel juga dapat comply dengan European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR).

“Kita juga menujukkan bisa ditelusuri dari mana biodeselnya, CPO mana, produksi kebun dari mana, apakah terlibat deforestasi atau tidak. Dan itu sudah menjadi bagian dari Indonesia bioenergy sustainability indicators (IBSI) yang telah disusun EBTKE,” ujarnya.

Meski demikian, biodiesel Indonesia mempunya sejumlah tantangan, khususnya soal teknologi. menurut Jummy setiap perkembangan spesifikasi akibat Dari peningkatan campuran BIODIESEL disolar makan perlu peningkatan mutu, hal ini menyebabkan pabrik BIODIESEL perlu mengadop teknologi baru atau rekayasa engineering atas pabrik lama yang ada, sehingga konsumen memiliki tingkat keberterimaan yang tinggi ata BIODIESEL ini walaupun campurannya meningkat.

“Maka, akan ada adopsi teknologi, melalui instalasi-instalasi mesin yang terbaru untuk mendapatkan kualitas terbaik. Contoh seperti Monogleserida yang dulunya 0,8 menjadi 0,5 bahkan akan 0,47 untuk B50 rencananya. Ini menjadi tantangan kami soal industri biodiesel,” ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, penyimpanan tantangan industri biodiesel lainnya seperti handling dan transportasi.

“Tantangan kami tebesar kedua adalah biodiesel di level pabrik diproduksi sesuai kriteria kami. Tapi ketika itu berjalan ke bayang gak, dari Dumai ke Balikpapan nyampe seminggu dan dibongkar 3 hari kemudian. Gimana gak down grade kualitasnya. Ini menjadi tantangan kami juga,” tuturnya.

Jummy juga mengungkap tantangan pelaku usaha mengenai bisnis biodiesel yang saat ini tidak begitu menarik dari sisi harga.

“Selain harga ini CPO plus alfa [fix USD per metrik ton]. Sementara beberapa variable cost di dalam conversation cost biodesel itu seperti methanol, katalis, sodium metilet tuh selalu mengikuti harga pasar setiap hari. Jadi ketika diminta perubahan kualitas dan perubahan lainnya, tapi ketika dari sisi harga tidak mengikutinya Hal ini merupakan ketidakpastian bagi kami industri,” ujarnya.

“Ketika kita ingin B40 kita cukup stoknya. Ketika B50 enggak cukup. Tapi kalau kualitasnya diimporove, bisa dimungkinkan. Tapi di sisi lain sedang dikembangkan HVO (Hidrgogenated Vegetable OIl) oleh Pertamina. Ini harus sinkron. Karena ini siapa yang memproduksi? BUMN atau swasta juga sebab ke hulunya ini masalah feed stock minyak sawit terkecuali ada resources minyak nabati lainnya. Green diesel maupun green avtur dan lainnya juga Masih membicarakan dengan feedstock minyak sawit, sehingga perlu kebijakan komperhensip untuk melihat semua ini,” pungkas Jummy.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini