
Harga kopi saat ini memang melambung tinggi, tetapi ironisnya, banyak petani yang tidak merasakan manfaat dari kenaikan tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Bagas Hapsoro, Duta Besar Indonesia untuk Swedia dan Latvia periode 2016 hingga 2020, dalam Sarasehan Nasional Kopi 2024 di Hotel Santika BSD City, Serpong, pada Selasa (1/10).
Bagas menyoroti beberapa hal yang menurutnya sangat anomali dalam industri kopi. Dia merasa ada sesuatu yang salah, baik dari segi kebijakan maupun produksi.
“Harga kopi sekarang ini tinggi, tapi apa yang dia dapat oleh para petani itu sekarang ini betul-betul satu hal yang sangat merugikan kita,” ungkap Bagas. “Harga kopi tinggi di luar, tapi petani nggak dapat apa.”
Produksi kopi Indonesia juga mengalami penurunan signifikan, dari 771 ribu ton pada 2022 menjadi 756 ribu ton pada 2023, menambah keprihatinan akan nasib petani kopi.
“Singkatnya, apa yang terjadi ini sangat merugikan kita dan tadi disampaikan bahwa 40 perseb dari tanaman kopi ini dalam keadaan yang tidak baik. Kemudian fakta bahwa 90 persen dari perkebunan itu adalah perkebunan rakyat,” ujar Bagas.
Karena itu, Bagas menegaskan perlunya tindakan-tindakan penting, dan momentum peringatan International Coffee Day ini sangat tepat untuk merumuskan kebijakan mendukung kesejahteraan petani kopi.
“Kalau perlu ini menjadi salah satu masukan untuk pembuat kebijakan nanti setelah tanggal 20 Oktober biar beliau tahu apa yang harus kita lakukan,” ujar Bagas.
Sementara itu, Bagas juga menyoroti Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang akan mulai berlaku pada tahun 2025.
Bagas menekankan bahwa implementasi regulasi tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran jika tidak mempertimbangkan kondisi lokal dan keberlanjutan bagi para petani,
“Mengenai regulasi Eropa berkaitan dengan deforestasi bagi kita semuanya warga negara atau warga PBB, ini suatu pelanggaran. Pelanggarannya berkenaan dengan spirit multilateralisme,” ungkap Bagas.
Dia menjelaskan bahwa dalam semangat multilateralisme, setidaknya penting untuk mengakui perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) bagi negara-negara berkembang.
“Kemudian juga kita harus tahu bahwa yang namanya due diligence uji tuntas dan segala macam itu enggak bisa diterapkan secara sepihak,” kata Bagas.
Bahkan Bagas menyebut bahwa Rizal Luqman, Sekjen CPOPC, mengatakan bahwa jika tidak ada tindakan terkait EUDR, ekspor komoditi, terutama sawit, dapat turun hingga 26 persen.
“Jadi, jahat ya kalau menurut saya tanpa ada perundingan apa-apa tiba-tiba diterapkan seperti ini,” pungkas Bagas.