Kolom
Sudarsono Soedomo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University
Konflik pertanahan di Indonesia merupakan isu yang terus berulang, dan ironisnya, akar persoalannya tidak pernah benar-benar berubah. Salah satu sumber utama konflik tersebut adalah kawasan hutan, yang menjadi wilayah dengan status hukum yang paling kompleks dan ambigu.
Hampir seluruh konflik agraria berskala besar, baik yang melibatkan masyarakat adat, petani, maupun korporasi, selalu terkait dengan klaim kawasan hutan. Permasalahan utamanya terletak pada kebingungan antara tahapan penunjukan kawasan hutan dengan penetapannya secara hukum.
Penunjukan, yang seharusnya merupakan langkah awal dalam proses pengukuhan, justru selama ini diperlakukan sebagai dasar legalitas penuh, meskipun belum melewati tahapan verifikasi, tata batas, dan pengesahan melalui keputusan definitif. Situasi ini semakin pelik dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang pem- bentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.
Pada prinsipnya, inisiatif ini tampak baik karena bertujuan menyelesaikan persoalan ketidaktertiban status lahan. Namun sayangnya, yang dijadikan acuan untuk “menertibkan” justru adalah peta dan data kawasan hutan yang sejak awal bermasalah—yakni bersumber dari proses penunjukan sepihak tanpa verifikasi faktual di lapangan.
Dalam banyak kasus, lahan yang telah lama dikelola masyarakat atau bahkan telah bersertifikat, secara tiba-tiba dianggap berada dalam kawasan hutan dan dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan ini justru memicu persoalan baru. Banyak masyarakat yang terdampak merasa hak mereka terabaikan, namun tak memiliki ruang menyuarakan keberatan karena khawatir berhadapan dengan kekuasaan yang represif. Ketimpangan relasi kuasa dalam proses penertiban ini membuat keluhan masyarakat seolah tidak terdengar.
Sementara itu, ketidakpastian hukum atas status tanah semakin meluas, menurunkan rasa aman dalam ber usaha dan menekan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan tanah dan kehutanan nasional.
Kondisi ini sangat tidak sehat, terutama bagi investasi jangka panjang yang membutuhkan kepastian hukum atas lahan dalam skala besar.
Ketika tanah menjadi objek sengketa yang tidak kunjung selesai, maka sektor-sektor strategis seperti perkebunan, energi, infrastruktur, dan kehutanan lestari akan terhambat. Dalam jangka panjang, ketidaktertiban ini justru kontraproduktif terhadap cita-cita pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan dan kawasan pinggiran hutan.
Diperlukan pendekatan baru yang lebih adil, partisipatif, dan berbasis fakta lapangan dalam menyelesaikan persoalan kawasan hutan. Penertiban yang sejati harus dimulai dari pembenahan data dan proses legalitas yang benar, bukan sekadar memaksakan kehendak berdasarkan peta yang tidak akurat. Jika tidak, maka upaya penertiban ini justru akan menjadi ladang konflik baru yang semakin memperkeruh tata kelola pertanahan di Indonesia.