
Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman berterima kasih kepada Ombudsman karena melaporkan dugaan maladministrasi penerbitan dan pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta kebijakan wajib tanam.
Hal ini disampaikan Mentan Amran saat memberikan keterangan pers usai acara ‘Entri Meeting Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Tahun 2023 di Lingkungan Kementan dan Badan Pangan Nasional’, Jakarta, Rabu (17/1).
Mentan Amran mengatakan telah mengadakan rapat pimpinan (rapim) membahas masalah tersebut. Dari rapim itu didapati pihak Kementan di bawah Inspektorat Jenderal (Irjen) dan tim akan mengecek langsung penyimpangan yang menjadi temuan Ombudsman.
“Kami tadi langsung memanggil Irjen dan timnya untuk periksa. Langsung cek ke bawah. Kami terima kasih kepada Ombudsman, karena langung memberikan informasi kepada kita,” kata Mentan Amran.
Mentan Amran, yang juga Ketua Umum IKA Unhas Periode 2022 – 2026 itu mengajak masyarakat untuk ikut serta melaporkan jika terjadi penyimpangan di lingkup Kementan. Dia berjanji akan langsung menindaklanjuti.
“Termasuk masyarakat kalau ada penyimpangan (di lingkup Kementan) tolong sampaikan kepada kami, pasti akan kami tindaklanjuti,” kata Mentan Amran.
Pasa Selasa (16/1), Ombudsman melaporkan empat dugaan maladministrasi dalam penerbitan dan pengawasan RIPH serta persyaratan wajib tanam.
“Empat dugaan maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum atau tidak memberikan pelayanan, dugaan penundaan berlarut, dugaan tidak kompeten, dan dugaan melampaui wewenang dalam pelayanan RIPH dan kebijakan wajib tanam bawang putih akan kita uji dalam pemeriksaan,” kata Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika.
Kepada Ombudsman, sejumlah pelaku usaha mengeluhkan adanya kendala dalam Sistem Akses RIPH yang sering tidak bisa diakses pada jam kerja.
Selain itu juga dikeluhkan proses permohonan RIPH yang selesai melebihi standar waktu layanan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2019 tentang RIPH, yakni 8 hari kerja.
“Hal ini mengindikasikan adanya potensi maladministrasi tidak memberikan layanan dan penundaan berlarut dalam penerbitan RIPH,” ujar Yeka.
Terkait wajib tanam sebagai salah satu persyaratan penerbitan RIPH, Yeka mengatakan pihaknya mendapatkan informasi adanya modus pendirian perusahaan baru oleh pemain lama, daripada melakukan wajib tanam. Karena biaya mendirikan perusahaan baru lebih murah daripada melaksanakan wajib tanam.
“Wajib tanam merupakan persyaratan yang harus dipenuhi sebelum RIPH-nya terbit. Misalnya saja suatu perusahaan berkomitmen melakukan wajib tanam 100 hektar dengan target produksi misalnya 200 ton bawang putih, maka perusahaan tersebut berhak mendapatkan persetujuan impor sebesar 4.000 ton bawang putih dalam setahun,” jelas Yeka.
Namun pada kenyataannya Ombudsman menemukan, cukup banyak yang memilih untuk tidak melaksanakan wajib tanam pasca mendapatkan persetujuan impor tersebut dan lebih memilih untuk mendirikan perusahaan baru dalam pengajuan persetujuan impor bawang putih tahun berikutnya. Sehingga target produksi bawang putih dalam negeri belum dapat meningkat.
“Wajib tanam sudah berlaku sejak 2017. Tapi lihat perlembangannya dari tahun ke tahun rata-rata jumlah produksi bawang putih 40-45 ribu ton. Data ini menunjukkan bahwa program wajib tanam gagal dalam meningkatkan produksi bawang putih,” tegas Yeka.
Nantinya Ombudsman akan memberikan saran perbaikan terkait wajib tanam ini. Yeka mengatakan wajib tanam perlu dievaluasi dan dialihkan program yang lain. Misalnya program CSR perusahaan dengan membagikan pupuk gratis kepada para petani bawang putih lokal atau kepada lembaga riset untuk melakukan riset pengembangan benih bawang putih lokal.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya laporan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih.
Yeka menjelaskan, berdasarkan keterangan informan, mereka mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementan berkisar antara Rp 200/kg hingga Rp 250/kg untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih yang sedang diurus.
Namun Yeka mengatakan pihaknya akan fokus pada tata kelola penerbitan RIPH dan menyerahkan hal tersebut kepada Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mendalaminya.
“Ada 210 importir hortikultura di tahun 2023, nanti kita cek. Setelah pemeriksaan akan ada tindakan korektif kepada Kementerian Pertanian,” ujar Yeka.