Pembatasan Ekspor Minyak Jelantah dan Residu Sawit Rugikan Petani

0
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung.

Keputusan pemerintah membatasi ekspor minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO), Limbah Cair Sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), dan residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR) dinilai akan merugikan Indonesia. Pasalnya, kebijakan ini akan mengurangi penerimaan negara dan merugikan petani.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat ME Manurung mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) seharusnya tidak membatasi ekspor produk-produk tersebut.

“Seharusnya yang jadi masalah jika produk CPO Indonesia atau produk sampingannya (residu CPO) nggak ada yang beli, baru (kita) repot. Ini kok, banyak permintaan dari negara lain malahan dibatasi, paling tidak 160 negara,” kata Gulat dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (11/1).

Gulat mengatakan, tingginya permintaan terhadap minyak jelantah (minyak bekas menggoreng), POME, dan residu sawit lainnya adalah peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan penjualan ekspor.

Terkait dengan kemungkinan adanya kecurigaan bahwa eksportir mencampur minyak goreng murni dengan minyak jelantah agar bisa masuk dalam kategori ekspor, Gulat menilai hal tersebut bukanlah masalah yang sulit diatasi.

“Ya kan mudah saja, tinggal diuji setiap mau diekspor apakah benar minyak jelantah atau dicampur dengan minyak goreng murni, kalau memang nakal, ya langsung pidanakan dengan denda berlipat ganda,” tegas Gulat.

Lebih lanjut, dia menyarankan agar kontrol ekspor dilakukan dengan menaikkan pajak ekspor residu CPO dan UCO. Dengan cara ini, negara dipastikan akan mendapatkan pemasukan yang lebih tinggi tanpa harus melalui prosedur administrasi ekspor yang berbelit-belit. Jika ada pelanggaran, kasus tersebut bisa langsung diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH).

Lebih lanjut, dia menyampaikan, arahan Presiden Prabowo sangat jelas, yakni kebutuhan CPO domestik untuk mendukung ketersediaan minyak goreng bagi rakyat dan mandatori biodiesel. Sementara itu, produk residu dan minyak jelantah adalah komoditas yang berbeda dengan CPO.

“Memang berapa kebutuhan domestik terhadap residu sawit dan minyak jelantah tersebut? Apa Indonesia kekurangan? Kalau dalam bentuk CPO, okelah, kita wajibkan hilirisasi dalam negeri dan mendukung program biodisel,”  kata dia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan RI Budi Santoso menerbitkan pembatasan ekspor ketiga produk tadi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit. Permendag Nomor 2 Tahun 2025 yang berlaku pada 8 Januari 2025.

“Menindaklanjuti arahan Presiden, kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40. Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama,”tutur Menteri Budi Santoso.

Selain itu, peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.

Menurut Mendag Budi, kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan. Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS.

Menanggapi pernyataan tersebut, Doktor Ilmu Lingkungan Sawit dari Universitas Riau ini  menaytakan bahwa bagi petani sawit, mau itu dalam bentuk ekspor residu POME, HAPOR atau UCO harusnya tidak ada masalah.

Mengolah brondolan menjadi asam tinggi, menurut dia, justru dapat memberikan keuntungan. Selain menambah pemasukan negara dan meningkatkan pendapatan BPDPKS, hal tersebut juga memberi alternatif pasar bagi petani sawit untuk menjual hasil panennya.

“Kalau Pak Mendag mengatakan, ada modus pengusaha ekspor dengan cara membusukkan TBS sawit menjadi brondolan dan menghasillan CPO asam tinggi untuk non food. Bagi kami petani, yang penting pasarnya ada, bagi kami petani itu adalah peluang sepanjang protas kita tinggi cukup untuk domestik,” kata Gulat.

Merutu dia, petani sawit berpikir sederhana di mana pabrik sawit dengan harga bagus maka disitulah petani menjual hasil panennya khususnya petani sawit swadaya. Sedangkan, beda cerita dengan petani plasma/bermitra yang wajib menjual TBS-nya ke pabrik sawit Inti.

Namun menurut dia, sangat kental juga unsur persaingan usaha antara pabrik sawit CPO dengan pabrik sawit pengolah brondolan dimana pabrik sawit yang mengolah TBS menjadi CPO menjadi kekurangan bahan baku. Kondisi ini disebabkan TBS sawit banyak masuk ke pabrik sawit brondolan.

“Sebagian pabrik sawit yang saya tanyakan, mengakui anjloknya rendemen aktual harian karena brondolan yang rendemennya lebih tinggi dibandingkan janjangan dijual petani sawit (swadaya khususnya) ke pabrik Brondolan semua, apalagi dengan harga fantastis,” pungkas dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini