Bos Bapanas Imbau Pelaku Usaha Perbaiki Mutu Beras

0
eras medium dalam baskom berwarna hijau dijual seharga Rp 12.000 per kilogram di pasar tradisional.
Pedagang menjual beras medium dalam baskom hijau seharga Rp 12.000 per kilogram. Dok: Ist

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi mengimbau pelaku usaha perberasan diharapkan untuk memperbaiki produknya agar sesuai label dan informasi yang tertera pada kemasan. Ia menegaskan bahwa kesesuaian mutu beras sangat penting demi melindungi hak konsumen.

“Jadi, kesesuaian mutu dari beras yang ingin dibeli oleh masyarakat itu harus benar-benar ter-deliver,” kata Arief dalam keterangan resminya diterima di Jakarta, Kamis (24/7).

Ia menyebutkan, ketidaksesuaian antara label dan isi produk dapat merugikan konsumen. Berdasarkan hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan), potensi kerugian konsumen akibat mutu beras yang tidak sesuai bisa mencapai Rp 99 triliun per tahun.

Sebagai contoh, beras kualitas medium harusnya dijual seharga Rp 12.000 per kilogram, dikemas dan dijual dengan harga beras premium Rp 15.000 per kilogram. Hal ini menyebabkan konsumen membayar lebih mahal untuk kualitas yang tidak sesuai.

“Itu sederhananya, kalau harga beras medium sekitar Rp 12.000 tapi dijual premium, ada selisih harga Rp 3.000 per kilonya,” sambungnya.

Kemudian soal takaran beras, Arief menyebut ada kemungkinan terjadinya penyusutan bobot sebagai akibat dari proses mobilisasi. Namun, menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang lazim di dunia perberasan dan para pelaku usaha seharusnya sudah memahami cara mengantisipasinya.

Oleh karena itu, bekas Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) ini mendorong para pelaku usaha beras dapat kembali lebih memerhatikan aspek keakuratan tersebut.

“Sebenarnya tidak ada alasan berat itu berkurang daripada yang seharusnya ada di labeling. Kalau beratnya 5 kilo, ya harusnya tidak terlalu jauh dari 5 kilo, karena biasanya toleransinya 1 per mil atau teknik berikutnya adalah dilebihkan sedikit, misalnya 5,05 kilo. Biasanya kalau teman-teman perberasan sudah memahami itu,” jelas Arief.

Kemudian kadar air. Ia mengatakan, standar kadar air maksimal untuk beras medium dan premium adalah 14 persen. Jika kadar air terlalu rendah saat pengiriman, beras berisiko lebih mudah patah sehingga meningkatkan tingkat broken (beras pecah) yang justru merugikan kualitas produk.

“Jadi sebenarnya di dunia perberasan ini sudah biasa dengan hal-hal itu. Tinggal bagaimana ke depannya, kita fokus perbaiki kembali dengan mengacu pada standar mutu beras yang ada,” imbuh Arief.

Adapun isu beras tidak sesuai mutu dengan label kemasan mencuat setelah Kementan melakukan investigasi menyusul mahalnya harga beras di tengah stok nasional yang sebenarnya tinggi.

“Jadi, sebenarnya logika yang dipakai itu adalah pada saat panen raya kemarin, kita bisa surplus. Bahkan, produksi versus konsumsi surplusnya bisa 3–4 juta ton, sehingga tidak masuk akal kalau harga beras naik signifikan,” jelas Arief.

“Kemudian setelah di cek, memang kesesuaian antara packaging dan beras isi yang ada dalam packaging (kemasan) itu yang menjadi concern,” sambungnya.

Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras dalam negeri pada periode Januari hingga Agustus 2025 diperkirakan mencapai 24,96 juta ton.

Sementara itu, kebutuhan konsumsi beras nasional untuk periode yang sama diproyeksikan sebesar 20,66 juta ton. Dengan demikian, jika dibandingkan antara produksi dan konsumsi, Indonesia mengalami surplus beras sekitar 4,3 juta ton selama Januari–Agustus 2025.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini