Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengusulkan agar pengenaan Bea Keluar (BK) Crude Palm Oil( CPO) ditunda sementara, selama masa pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 50 persen.
Menurut Sahat Sinaga, Plt. Ketua Umum DMSI,penundaan BK CPO ini perlu dilakukan untuk menjaga daya saing industri sawit nasional di pasar global. Apabila BK tetap dijalankan, maka stok minyak sawit di dalam bakalan over supply dan tanki penuh.
“Kami berharap BK dibebaskan, agar ekspor CPO akan lebih lancar. Selain itu, nilai hasil dari ekspor bisa digunakan untuk memproduksi Minyakita. Kalau kita tidak ekspor runyam. Negara pesaing akan ambil untung, perlu pengorbanan dari Kementerian Keuangan dengan menunda sementara BK,” kata Sahad dalam konferensi pers DMSI, Tantangan dan Perkembangan Industri Hilir Sawit 2023, di Pusat Bisnis Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (7/2/2023).
Sebelumnya, Pemerintah menaikkan volume domestic market obligation (DMO) yang mewajibkan eksportir memenuhi 50 persen. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan eksportir wajib memasok minyak goreng di dalam negeri, dari semula 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton.
“Dengan DMO 50 persen, ekspor harus dibuat lancar. Karena Indonesia tetap butuh devisa, ” ujar Sahad.
Sahat Sinaga menjelaskan saat ini situasinya tidak mudah bahkan bisa lebih buruk daripada tahun lalu. Saat ini, ekspor sawit harus menanggung US$142/ton untuk bea keluar dan pungutan ekspor. Terdiri dari pungutan ekspor US$90/ton dan bea keluar US$52/ton.
“Kalau bea keluar tetap jalan, diperkirakan ekspor sawit akan macet total. Harga tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar ekspor juga lesu. Makanya, ekspor butuh insentif supaya daya saing kuat di pasar global,” ucap Sahat .
“Kemenkeu kami harapkan bisa membantu optimalisasi ekspor sawit. Caranya bea ekspor ditunda selama DMO 50 persen berjalan sampai Mei mendatang,” katanya.
Sahad mengatakan saat ini ekspor CPO berkurang lantaran permintaan dari luar negeri turun. Akibatnya, CPO di dalam negeri numpuk. Jumlah CPO yang menumpuk itu sebanyak 6,17 juta ton dari seluruh di Indonesia. CPO tersebut merupakan pasokan yang siap ekspor dari November 2022 sampai Januari 2023.
“Pengusaha itu punya tunggakan PE 6,17 juta ton, 6,17 juta ton, tidak dijadikan bahan ekspor. Mulai dari tahun lalu sampai sekarang. Kenapa nggak diekspor? Ada 6,17 juta ton siap ekspor tidak mau ekspor, di luar negeri lagi resesi,” jelasnya,
Dalam kesempatan itu, Sahat juga menyinggung pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta agar produsen menyimpan sebagian pasokan CPO-nya. Menurut Sahat, produsen memang saat ini masih sulit mengekspor.
“Dikatakan jangan dulu ekspor, memang nggak ada ekspor. Marketnya lagi lemah. Dikatakan di hold dulu sebagian jangankan ekspor,” lanjutnya.
Lanjut Sahat, di sisi lain jika tidak ada ekspor kondisi pasar akan runyam. Maka menurut dia perlu ada insentif juga untuk produsen CPO yang memudahkan untuk ekspor. Pengusaha meminta agar bea keluar (BK) sebesar US$ 52 per ton dihentikan sementara.
“Ini ditunda sampai Lebaran selesai, untuk memperlancar ekspor,” tutupnya.