Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cuk Supriyadi Ali Nanda mengatakan, bioavtur atau bahan bakar pesawat terbang dari kelapa lebih baik dibandingkan sawit.
Supriyadi menjelaskan, bioavtur yang dihasilkan dari kelapa lebih stabil susunannya. Sedangkan biodiesel dari sawit bersifat higroskopis, yaitu cenderung menyerap air dari lingkungan sekitarnya.
“Kelapa ini lebih stabil. Jadi, kita bisa menjadikan kelapa menjadi energi alternatif,” ujar Supriyadi dalam acara Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa di Kantor Bappenas, Jakarta, dikutip Selasa lalu.
Supriyadi mengatakan telah bekerja sama dengan salah satu perusahaan Jepang untuk mengolah kelapa non-edible yang sudah busuk menjadi bioavtur.
“Ini salah satu produk turunan dari kelapa. Dan seperti disampaikan Pak Dirjen Agro Putu Juli Ardika itu sangat lebih mudah dan lebih stabil,” ujar Supriyadi.
Supriyadi juga menyoroti potensi sabut kelapa yang belum banyak dimanfaatkan. Dia menyampaikan, sabut kelapa bisa diolah menjadi katalis untuk pembuatan biodiesel.
Untuk diketahui, setiap tahunnya industri sawit dan kimia dasar Indonesia mengimpor katalis sampai dengan US$ 190 juta dari Jerman, Amerika Serikat, China, juga India.
“Ini juga mungkin salah satu alternatif nanti pemanfaatan dari sabut kelapa menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi,” ujar Supriyadi.
Sama halnya dengan sawit, Supriyadi menyebutkan bahwa limbah dari kelapa juga dapat diolah menjadi biolubricant atau bio-pelumas.
“Jadi, kita sudah ada pengalaman dari kelapa sawit, pendanaan dari BPDPKS, nanti kita bisa lanjut untuk produk yang kelapa. Karena kan karakteristiknya hampir sama lah, bahkan kelapa ini kualitasnya lebih bagus daripada kelapa sawit saya kira,” kata dia.
Selanjutnya, limbah kelapa, seperti tempurung dan sabut kelapa, dapat dikonversi menjadi biochar, yaitu arang yang kaya karbon dan berpori.
“Saya kira ini sudah tadi disampaikan tadi ada seratnya, sabutnya dibuang-buang, dibakar. Ini sebenarnya bisa menjadi potensi, menjadi pelet untuk alternatif biomassa,” ujar Supriyadi.
Selanjutnya, Supriyadi mengharapkan masukan dari berbagai pihak, terutama petani agar dapat menyediakan teknologi yang tepat guna untuk membantu limitasi dari jumlah petani.
“Tadi disampaikan bahwa sekarang petani muda berkurang drastis, sehingga kita bisa mengembangkan peralatan-peralatan tepat guna untuk membantu limitasi dari jumlah petani tersebut,” pungkas dia.