Purwokerto – Upaya memperluas penggunaan produk turunan sawit ke pelaku usaha kecil dan menengah kembali digerakkan lewat Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit bertema “Kolaborasi Media dan Pelaku UKM Sawit untuk Indonesia Emas 2025”.
Acara yang berlangsung di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin (24 November 2025), menjadi ruang temu antara pemerintah, industri, dan media untuk merumuskan strategi promosi produk UKM berbasis sawit.
Ketua Pelaksana Qayuum Amri menyebut kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi dengan BPDP, DMSI, GAPKI, dan Asian Agri. Menurutnya, peranan media kini menjadi kunci untuk memperkenalkan ragam produk turunan sawit yang jumlahnya mencapai 32 jenis—mulai dari cokelat, kopi, abon, parfum, biskuit, helm sepeda, hingga rompi. “Dari kepala sampai kaki ada produk berbahan sawit,” kata Qayuum.
Workshop digelar dua hari dan disertai kunjungan lapangan ke UKM Berkah Kita di Baturaden, produsen lilin aromaterapi berbahan jelantah. Persebaran UKM sawit, lanjut Qayuum, kini tersebar dari Aceh hingga Sulawesi Barat, serta mulai merambah pasar internasional. Produk lidi sawit bahkan telah menembus Pakistan dan sejumlah negara Timur Tengah. “Jangan hanya jadi penjual, jadilah produsen. Nilai tambahnya jauh lebih besar,” ujarnya.
Acara dibuka Kepala Dinas Tenaga Kerja, Koperasi, dan UKM Banyumas, Wahyu Dewanto. Meski Banyumas bukan daerah penghasil sawit, Wahyu menilai pemanfaatan produk turunannya tetap relevan. Pelaku UKM kuliner, kerajinan, dan suvenir banyak menggunakan bahan berbasis sawit. “Pasar produk sawit ini luas. Banyumas bisa tetap mengambil peluang,” tuturnya.
Wahyu menyatakan dinasnya membuka ruang kolaborasi, terutama untuk pelatihan, pembinaan usaha, dan akses pembiayaan. Ia menyinggung skema pinjaman bergulir berbunga rendah—hanya dua persen per tahun—yang dapat diakses UKM cukup dengan Nomor Induk Berusaha. Ia berharap workshop ini menjadi awal terbentuknya jejaring strategis antara media, UKM, pemerintah, dan industri sawit. “Media menjadi sarana edukasi publik tentang manfaat sawit,” katanya.
Dari BPDP, Kepala Divisi UKMK Helmi Muhansyah mengingatkan bahwa sawit masih menjadi penopang ekonomi nasional yang paling stabil. Namun, tekanan kampanye negatif dari Eropa—mulai isu deforestasi hingga tenaga kerja—membuat perbaikan persepsi publik menjadi penting. “Berita bohong yang diulang-ulang bisa dianggap benar. Itu prinsip propaganda ala Goebbels. Karena itu, harus dilawan dengan fakta,” ujar Helmi.
BPDP kini menjadikan persepsi publik sebagai indikator kinerja utama. Penilaian masyarakat terhadap sawit, biodiesel, dan peran BPDP ikut menentukan capaian lembaga itu. Helmi menyinggung meluasnya inovasi turunan sawit, dari batik hingga balsam dan produk kecantikan. Ia mencontohkan perajin batik di Yogyakarta yang omzetnya meroket dari ratusan juta menjadi miliaran setelah memakai bahan berbasis sawit. “UKM perkebunan bisa kaya bersama BPDP,” katanya.
BPDP juga aktif membawa UKM sawit, kakao, dan kelapa ke berbagai pameran dan menargetkan 1.000 UKM perkebunan naik kelas.
Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Dr. Khavid Faozi, melihat kontribusi sawit masih dominan terhadap PDB. Produktivitas, katanya, bergantung pada kualitas bibit, kondisi lingkungan, dan standar budidaya. Produk sampingan seperti biomassa dan lidi sawit juga memiliki potensi ekspor yang kuat.
Media Relations GAPKI, Mochamad Husni, menggarisbawahi bahwa Indonesia diberi iklim ideal untuk sawit sehingga produktivitasnya jauh melampaui negara lain. Ia menyebut itu sebagai “berkah” yang harus dijaga melalui riset dan informasi akurat. Menurutnya, perputaran uang dari penjualan tandan buah segar (TBS) saja mencapai Rp200 triliun per tahun yang menggerakkan ekonomi daerah. “Belanja pegawai, sembako, sampai tumbuhnya kawasan transmigrasi, semuanya ikut bergerak karena sawit,” kata Husni.
GAPKI berharap kerja sama antara media dan akademisi dapat memperkuat narasi positif sawit agar industri strategis ini tidak terus melemah oleh tekanan informasi dari luar negeri. Ruang dialog seperti workshop ini, kata Husni, menjadi simpul penting untuk menunjukkan bahwa hilirisasi sawit bukan hanya soal ekspor, tetapi juga menghidupkan UKM yang kian kreatif memanfaatkan bahan baku lokal





























