Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang telah dibentuk sejak 2015 tercatat telah mengumpulkan total dana pungutan sawit hingga Rp 186,6 triliun hingga saat ini. Dana tersebut digunakan untuk program pengembangan berkelanjutan.
“Sejak 2015 hingga Mei 2023 ini, BPDPKS sudah dapat memungut pungutan ekspor yang akan dijadikan dana untuk membiayai program pengembangan sawit berkelanjutan Rp 186,6 triliun,” ujar Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman dalam CNBC Indonesia Special Dialogue, Senin (26/6/2023).
Dana yang dikumpulkan kemudian digunakan untuk program peremajaan sawit untuk perkebunan yang dianggap sudah tidak produktif. Pasalnya usia tanaman lebih 25 tahun produktivitasnya akan menurun, sehingga perlu peremajaan.
“Sampai saat ini sudah menyalurkan dana untuk program Rp 7,78 triliun. Untuk mendanai pelaksana peremajaan sawit seluas 22.849 hektar, melibatkan 124 pekebun yang tersebar di 21 provinsi,” kata dia.
Selain itu, BPDPKS juga mendanai pengawasan penyediaan saranan dan prasarana mulai dari bibit, pupuk, pestisida hingga alat pertanian. Hingga Mei 2023, dukungan sarana telah diberikan untuk 26 lembaga pekebun senilai Rp 72,3 miliar.
Program penelitian dan pengembangan juga dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Hingga kini sudah disalurkan Rp 519,67 miliar untuk penelitian oleh 78 lembaga.
Pengembangan SDM juga dilakukan kepada 11.088 orang pekebun, dan beasiswa diberikan kepada 3.265 mahasiswa. Eddy mengatakan untuk pengembangan SDM, BPDPKS telah menyalurkan Rp 356,52 miliar.
Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) tahun ini berpotensi menghadapi tantangan dari sisi permintaan. Pasalnya, menurut Eddy Abdurrachman ada potensi permintaan dari India dan China.
Padahal, katanya, kedua negara tersebut adalah importir CPO RI terbesar.
“Harga mungkin akan berada di dalam kisaran US$850-900 per metrik ton,” kata Eddy.
“Pengaruh demand, produksi yang bagus, stok di Indonesia dan Malaysia bagus, sehingga supply menjadi lebih banyak. Demand agak turun sedikit, baik itu terutama di negara-negara importir terbesar seperti India dan China,” tambahnya.
Belum lagi, lanjut dia, Uni Eropa tengah memberlakukan kebijakan yang menjegal minyak sawit.
“Apalagi Eropa sekarang memberlakukan regulasi-regulasi yang pada dasarnya membatasi masuknya sawit ke sana.Kira-kira harganya seperti itu lah,” kata Eddy.
Kondisi harga itu, ujarnya, akan berdampak pada target penerimaan pungutan ekspor sawit dan turunannya yang dikelola BPDPKS.
“Tahun 2023 ini terjadi penurunan harga CPO dibandingkan tahun 2021 dan 2022. Sehingga penerimaan pungutan ekspor tahun ini kira-kira mencapai Rp30-an triliun,” katanya.
Di sisi lain, dia mengakui, harga CPO yang cenderung turun akan menguntungkan karena akan mempersempit gap harga solar dan biodiesel. Yang kemudian mempengaruhi penyaluran dana BPDPKS untuk insentif biodiesel.
Chart Tradingeconomics menunjukkan, pada sesi siang perdagangan hari ini, harga CPO hari ini bergerak di rentang MYR3.652 per ton atau sekitar US$779,18 per ton (kurs MYR4,69 per dolar AS), setelah sempat melandai di bawah MYR3.600 (US$768,08) per ton pekan lalu.
Eddy menuturkan bahwa dalam melakukan penghimpunan dana sumber penerimaan utama BPDPKS bersumber dari penerimaan Pungutan Ekspor Kelapa Sawit yang terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2022. Penerimaan yang bersumber dari pungutan ekspor dimulai dari 2015 sampai Mei 2023.
Dikatakan Eddy, punguta ekspor berfluktuatif yang dipengaruhi oleh kebijakan mengenai tarif Pungutan Ekspor (tarif Layanan BPDPKS) serta harga CPO referensi Kementerian Perdagangan sebagai dasar pengenaan tarif Pungutan Ekspor.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015, Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang dihimpun BPDPKS dikelola dan digunakan untuk membiayai program; a).Peremajaan Sawit Rakyat, b).Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, c).Pengembangan Sumber Daya Manusia, d).Penelitian dan Pengembangan, e).Promosi dan Kemitraan, serta f).Pemenuhan Kebutuhan Pangan, Hilirisasi Industri Perkebunan Kelapa Sawit, dan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati.
Eddy menjelaskan dana pungutan ekspor sawit digunakan membiayai petani sawit untuk peningkatan produktivitas, kesejahteraan, dan pengetahuan informasi.
Pada periode 2015 sampai Mei 2023, secara nasional telah disalurkan dana sebesar Rp7,52 Triliun untuk kebun rakyat seluas 282.409 Ha dan 124.152 pekebun di 21 Provinsi.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengusulkan, semua pungutan atas ekspor minyak sawit dimasukkan ke dalam pengelolaan Badan Pengelola Dana Pungutan Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Mulai dari pungutan ekspor maupun bea keluar (BK), di mana besaran keduanya ditetapkan berdasarkan jenis produk sawit yang diekspor.
Saat ini, BPDPKS memang baru hanya mengelola dana pungutan ekspor, yang sudah terhimpun sebesar Rp186,6 triliun. BPDPKS sendiri sudah terbentuk sejak tahun 2015.
Sebagian dana yang terhimpun tersebut diantaranya sudah dialokasikan untuk peremajaan sawit rakyat seluas 282 ribu ha. Lalu, Rp72,3 miliar untuk 26 lembaga pekebun yaitu gabungan kelompok tani. Juga, Rp356,52 miliar untuk pengembangan SDM sampai litigasi gugatan atas diskriminasi terhadap sawit ke lembaga internasional seperti WTO.
Dan, salah satu tujuan utama pembentukan BPDPKS adalah penyaluran anggaran untuk insentif bahan bakar biodiesel, yang sudah mencapai Rp164,56 triliun, menjangkau 48,19 juta kiloliter.
“Minyak sawit kita itu emas. Untuk tetap jadi emas butuh advertising dan lain-lain. Karena itu, usulan saya dana PMK (bea keluar ekspor sawit) agar dimasukkan juga ke dana pungutan (BPDPKS). Agar lebih besar dan bebas bergerak ke depan,” kata Sahat.
Mempertahankan posisi minyak sawit RI sebagai emas, kata Sahat, penting dilakukan di tengah gempuran ketidakadilan terhadap sawit RI.
“Ada ketidakadilan di dunia ini. Sawit kita diposisikan di bawah. Padahal, sawit memiliki nutrisi tinggi, ada Omega. Makanya kita reposisi sawit jadi emas, bukan loyang. Minyak sawit kita itu bukan kaleng-kaleng, itu adalah gold mine (tambang emas),” kata Sahat.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono pun sepakat perlu dibentuknya lembaga khusus, yang diharapkan bisa menjaga keberlangsungan sawit. Pasalnya ia melihat saat ini masih banyak kebijakan yang tumpang tindih dan perlu adanya sinkronisasi yang harus dilakukan antar lembaga.
Kehadiran lembaga khusus ini nantinya diharapkan Eddy bisa membuat pelaku usaha mendapatkan kepastian dan tidak bergantung pada kondisi global.
Eddy menabahkan, penting dilakukan sinkronisasi kebijakan hingga lembaga sehingga tidak ada timpang tindih. Dengan begitu pelaku industri bisa fokus meningkatkan produktivitas kelapa sawit.
Sinkronisasi pun menurutnya tidak dapat diserahkan kepada pelaku usaha, melainkan harus ada peran aktif regulator. Eddy juga menuturkan, konsumsi minyak sawit masih terus meningkat, hanya saja ekspor menurun. Hal itu, ujarnya, tak hanya karena kondisi ekonomi global, tapi juga efek dari dalam negeri.
“Kalau dilihat data, ekspor tahun 2022 itu kita memecahkan sejarah, sebesar US$39,07 miliar. Tapi itu karena harga sawit dan minyak nabati baik. Kalau dari (volume) ekspor, tidak terlalu besar. Dibandingkan tahun 2017-2108 lebih rendah,” kata Eddy
Ahli Hukum Sawit dan Perhutanan Sadino mengungkapkan masih banyak tumpang tindih aturan yang membayangi industri kelapa sawit tanah air. Menurutnya hingga kini regulasi pusat dan daerah terkait kelapa sawit tidak ada kesatuan yang menyebabkan ketidakpastian.
“Regulasi pusat dan daerah bahkan tidak ada kesatuan dari sisi perkebunan sawit, dan ada ketidakpastian dunia sehingga pelaku usaha menjadi kebingungan,” ujar Sadino.
Ketidakpastian ini membuat pelaku sawit yang telah memiliki hak tanah pun tidak mau menggunakan lahannya, karena tidak ada jaminan.
“Jika kepastian lahannya tidak ada, dampaknya terhadap kelapa sawit keseluruhan. Tentu saya berharap dukungan dari lembaga, minimal bisa harmonisasi. Kalau tidak bisa keseluruhan, paling tidak 50%-60% bisa dijalankan,” ungkapnya.
Menurutnya saat ini regulasi terkait kelapa sawit dari hulu hingga hilir masih semrawut, dan belum berpihak pada perkebunan kelapa sawit.