Daging Anjing Bukan Untuk Pangan, Peredarannya Perlu Diawasi

0

Pemerintah mensinyalir banyak terjadi pelanggaran dalam perdagangan dan pemotongan anjing untuk konsumsi, terutama menyangkut kesejahteraan hewan.

Untuk itu peran Pemerintah Daerah dituntut ikut bertindak dengan membuat Peraturan Daerah.

Saat Webinar Pengawasan Lalu Lintas Perdagangan Anjing Jawa-Sumatera yang di selenggarakan Forum wartawan Pertanian (Forwatan) Jakarta, Minggu (8/11), Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Syamsul Maarif mengatakan, perdagangan peredaran daging anjing termasuk kategori ilegal, sehingga menjadi target pengawasan dan penindakkan aparat penegak hukum.

Karena mempertimbangkan budaya, etnis dan unsur Sara, Syamsul mengharapkan pemerintah daerah (Pemda) turun tangan dengan membuat Perda (peraturan daerah). Misalnya yang dilakukan Pemda Karanganyar. “Kasus Karanganyar didukung walikota, tapi di Solo Walikotanya tidak melakukan hal yang sama,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa alasan masyarakat mengonsumsi anjing. Diantaranya terkait budaya, kepercayaan, mitos, ada juga untuk obat. Alasan lainnya karena sudah menjadi kultur, budaya masyarakat seperti di Sulawesi Utara, Maluku, Yogyakarta, Solo dan Sumatera Utara. “Konsumsi daging anjing juga masih terjadi di negara-negara seperti China, Vietnam, Laos, Kamboja dan Korea,” ujarnya.

Syamsul melihat dalam perdagangan anjing ternyata banyak penyimpangan, khususnya aspek kesejahteraan hewan, terutama transportasi dan proses pemotongan. Kondisi tersebut berdampak pada aspek zoonosis (kesehatan hewan) dan keamanan pangan.

Perdagangan anjing tersebut diakui Syamsul kemudian menimbulkan banyak protes dari kalangan pencinta hewan. Mereka mengirim surat langsung ke Presiden dan Menteri. Semua protes itu seolah-olah pemerintah tidak berupaya menghalangi perdagangan dana konsumsi anjing. “Dari luar negeri juga protes terjadi pelanggaran kesejahteraan hewan saat pemotongan hewan,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto mengakui perdagangan anjing menjadi bisnis yang menggiurkan, karena tingginya kebutuhan. Data Badan Karantina Pertanian, lalu lintas anjing dari Jawa ke Pulau Sumatera mencapai 2.000 ekor perbulan.

“Tugas Karantina disini adalah mencegah lalu lintas perdagangan hewan dari daerah wabah rabies ke wilayah bebas rabies. Jadi tidak ada larangan perdagangan anjing sepanjang dari daerah bebas rabies,” ujarnya.

Karena itu menurut Agus, dalam lalu lintas hewan telah ditetapkan persyaratan karantina yakni, melengkapi sertifikat kesehatan hewan dari tempat pengeluaran, status dan situasi daerah asal yakni bebas rabies, memenuhi persyaratan teknis karantina, pemeriksaan dokumen dan pemantauan. “Dari sisi karantina, jika perdagangan hewan tidak memenuhi persyaratan, tindakan kita menolak atau memusnahkan,” tegasnya.

Sementara itu, Mery dari JAAN (Jakarta Animal id Network) mendesak pemerintah mengambil tindak tegas terhadap oknum yang melanggar dalam perdagangan anjing. Pasalnya, dari hasil investigasi banyak terjadi perdagangan ilegal anjing, khususnya untuk konsumsi.

“Tiap hari sebanyak 500 ekor anjing masuk ke Solo, melalui jalur tanpa pengawasan. Sekitar 13.400 ekor anjing dipotong di Solo oleh 83 penjual daging anjing. Perdagangan berlangsung masif, jadi perlu regulasi yang pelaksanaannya ditegakkan,” tuturnya.

Provinsi Jawa Barat yang masih wilayah pandemi Rabies menjadi pemasok utama perdagangan anjing ke Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena itu Mery mengkhawatirkan, perdagangan ilegal anjing tersebut akan memperluas wilayah wabah rabies.

Karena itu ia berharap keseriusan pemerintah dalam mengatasi perdagangan anjing. “Saya setuju sikap pemerintah Kabupaten Karanganyar yang melarang rumah makan anjing. Kami juga mendukung program sterilisasi anjing,” tegasnya.

*Bukan bagian pangan*
Pada kesempatan itu Syamsul menjelaskan, dilihat dari aspek definisi pangan, berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, daging anjing bukan bagian dalam produk pangan, karena bukan termasuk peternakan dan kehutanan. Sedangkan dari aspek kesejahteraan hewan, berdasarkan UU No. 18/2009 Juncto UU No. 41/2014, serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.

“Berdasarkan UU No 41/2014 terjadi pelanggaran Pasal 91B dan Pasal 302 KUHP mengenai proses pemotongan anjing dengan cara menyakitkan dan dianiaya. Bagi pelaku bisa dipidana 1-6 bulan denda Rp 1-5 Juta,” tuturnya.

Sementara dari aspek zoonosis dan keamanan pangan, Syamsul mengatakan, memang ada mitos dimasyarakat mengenai manfaat kesehatan mengonsumsi daging anjing. Namun ia mengingatkan, mengonsumsi daging anjing berisiko membawa penyakit Rabies, E. coli, Salmonella spp, Kolera dan Trichinellosis.

Dilihat dari aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan, Syamsul mengungkapkan, sebenarnya penjualan anjing atau daging anjing dapat dibatasi melalui edukasi/pendekatan secara perlahan. “Persoalannya prilaku manusia dalam lalu lintas perdagangan anjing yang dilakukan umumnya tidak sesuai prosedur, bahkan melalui jalur tanpa pengawasan,” ujarnya.

Padahal UU No. 18/2009 menyebutkan setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Bagi pelaku yang melanggar akan terkena pidana 1-5 tahun, denda Rp 150 juta hingga 1 miliar.

“Dari hasil survei ternyata 82,2 persen ternyata pelaku mengetahui aturan hukum, tapi mereka tidak bisa mengubah pola prilaku. Karena itu kuncinya adalah bagaimana kita mengubah prilaku dan sikap masyarakat,” tegasnya. ***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini