Di tengah kian sengitnya isu keberlanjutan yang membayangi perdagangan minyak sawit, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menuntaskan misi diplomasi bisnis selama sepekan di Amerika Serikat dan Eropa.
Rombongan dipimpin Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, bersama Wakil Ketua Umum Sany Anthony dan Ketua Bidang Luar Negeri Fadhil Hasan. Tiga serangkai ini menjadi ujung tombak kampanye positif sawit Indonesia yang beberapa tahun terakhir menghadapi tekanan regulasi, terutama dari Eropa.
Namun GAPKI memilih jalur yang lebih senyap: memperluas jejaring, menguatkan diplomasi, dan memunculkan ruang dialog yang lebih permanen.
“Misi ini menunjukkan komitmen GAPKI untuk membangun jembatan dengan mitra internasional berdasarkan sikap saling menghormati dan demi mencapai tujuan bersama,” kata Eddy Martono.
Enam MoU yang diteken itu mencakup kerja sama perdagangan, inisiatif keberlanjutan, pertukaran pengetahuan, hingga peningkatan kapasitas teknis. Eddy menyebutnya sebagai perluasan signifikan jaringan internasional GAPKI, sekaligus sinyal bahwa minat mitra global untuk bekerja sama dengan produsen sawit Indonesia kembali menguat. Di tengah sorotan yang kerap condong negatif, kesediaan organisasi mitra untuk duduk satu meja dianggap sebagai perkembangan penting.
Fokus utama misi ini adalah membuka peluang peningkatan akses pasar bagi minyak sawit Indonesia. Dalam berbagai pertemuan dengan lembaga mitra, GAPKI mendorong pembahasan soal hambatan non-tarif yang selama ini mengganjal arus perdagangan. Delegasi Indonesia dan pihak mitra menelisik bagaimana produsen sawit dapat memenuhi preferensi konsumen yang terus berubah di pasar ekspor utama, terutama Amerika Serikat dan blok Eropa.
Selain agenda dengan lembaga mitra, delegasi GAPKI juga menemui pejabat perwakilan pemerintah Indonesia di negara-negara yang dikunjungi. Koordinasi kebijakan perdagangan, strategi diplomasi ekonomi, serta navigasi isu keberlanjutan menjadi bagian dari diskusi. GAPKI menyebut langkah ini sebagai cara menyelaraskan posisi Indonesia di tengah regulasi yang bergerak cepat.
“Enam MoU yang telah kami tandatangani akan menciptakan peluang bermakna untuk kolaborasi di bidang perdagangan, keberlanjutan dan pengembangan kapasitas,” ujar Eddy.
Menurut dia, memahami perubahan ekspektasi konsumen global menjadi kunci. Dengan kerja sama yang lebih erat, produsen sawit Indonesia dapat lebih sigap membaca arah pasar, sekaligus mengatasi hambatan perdagangan yang kerap muncul tiba-tiba. Eddy menegaskan bahwa keberlanjutan tetap menjadi elemen yang tidak bisa dilepaskan dari diplomasi sawit, baik sebagai tuntutan pasar maupun bagian dari transformasi industri.
Sebagai asosiasi yang mewakili produsen sawit penyumbang sekitar 60 persen produksi minyak sawit dunia, GAPKI berada dalam posisi yang kerap disorot. Eddy menyebut bahwa GAPKI memikul tanggung jawab untuk terus membuka ruang dialog berbasis fakta, mendorong praktik sawit berkelanjutan, serta menawarkan kerja sama strategis dalam menghadapi tantangan global—dari perubahan iklim hingga persaingan minyak nabati.
Melalui rangkaian kunjungan itu, GAPKI kembali menegaskan strategi diplomasi non-konfrontatif: membangun hubungan kelembagaan, meningkatkan transparansi komunikasi, dan membuka percakapan jangka panjang agar minyak sawit Indonesia tetap diterima di pasar global. Bagi GAPKI, keberhasilan misi pekan itu bukan hanya soal penandatanganan dokumen, melainkan upaya memastikan industri sawit tetap menjadi pilar pembangunan ekonomi nasional tanpa mengabaikan tuntutan lingkungan yang makin ketat.
Enam MoU yang diteken di Amerika Serikat dan Eropa itu diharapkan menjadi fondasi baru bagi kolaborasi internasional. Jalan panjang diplomasi sawit masih terbentang, namun GAPKI ingin memastikan Indonesia tidak berjalan sendirian di dalamnya, melainkan bersama mitra global yang siap terlibat secara konstruktif.






























