
Harga minyak sawit di pasar global terus melambung tinggi, mengalahkan minyak nabati lainnya. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) khawatir bahwa hal ini akan membuat konsumen beralih ke minyak nabati lain yang lebih terjangkau.
Di pasar internasional, harga minyak sawit mentah asal Indonesia dan Malaysia yang dikirim ke Rotterdam (CIF Rotterdam) pada 4 Maret 2025 berada di level US$1.220 atau setara Rp19,9 juta per ton (asumsi kurs Rp16.330/US$).
“Harga minyak sawit ini sekarang sudah lebih tinggi dari minyak nabati lain. Artinya bahwa sawit ini sekarang sudah menjadi minyak premium,” kata Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, dalam Konferensi Pers dan Syukuran HUT Gapki ke-44 di Jakarta, Kamis (6/3).
Menurut Eddy, kondisi ini justru menjadi tantangan besar bagi industri sawit Indonesia. “Menurut kami, ini bisa jadi bahaya jika terus berlanjut seperti ini. Contohnya, India sudah mulai beralih ke minyak nabati lain,” ujar dia.
Meskipun minyak sawit sulit untuk digantikan di pasar global, Eddy menegaskan bahwa jika harga minyak sawit terus tinggi, lambat laun konsumen akan beralih menggunakan minyak nabati lainnya yang lebih murah.
“Kalau konsumen itu sudah beralih ke minyak nabati lain, untuk kembali lagi ke sawit, rasanya itu butuh, butuh effort lagi yang cukup besar. Nah, ini yang kita khawatirkan,” ujar Eddy. “Jadi sebenarnya, kalau dengan harga yang tinggi terus ini kita juga tidak nyaman.”
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai kenaikan harga minyak sawit Indonesia di pasar global saat ini bisa jadi menjadi bumerang, seperti yang terjadi pada komoditas karet.
“Ingat tahun 1950 apa yang terjadi? 1950 itu perang Korea. Harga karet kita itu US$8,5 per kg. Apa yang terjadi? Muncul sintetik karet. Kenapa? Marginnya cukup tinggi sehingga mereka dengan cost chemical process bisa dapat,” tegas Sahat.
Sahat menilai, hal ini bisa saja terjadi pada sawit Indonesia jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas dalam menentukan harga.
“Jadi jangan mau kita dipermainkan dengan harga tinggi. Ini sudah di luar habitat anomali. Jadi kalau saya sarankan, saya sudah sampaikan pernah ke Menteri Perdagangan. Bapak Menteri harus mengambil posisi. Jangan sampai pialang atau bursa efek atau bursa komoditi yang menentukan price, tapi kita yang tentukan price,” ujar Sahat Sinaga.
Kinerja dan Prospek Sawit 2025
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gapki, Hadi Sugeng, mengatakan bahwa kenaikan harga minyak sawit di pasar global pasti akan mempengaruhi kinerja industri tahun 2025, khususnya dalam upaya merebut pasar dunia ke depan.
Hadi Sugeng menjelaskan, dalam lima tahun terakhir, luas lahan untuk enam jenis komoditas non-kelapa sawit telah meningkat hingga mencapai 56,6 juta hektare, yang tentu saja menambah persaingan di pasar global.
“Ini juga akan menjadi tekanan bagi kelapa sawit kita kalau harganya kita masih mahal yang dikarenakan karena produksi kita yang rendah dan juga karena beban yang diberikan oleh kelapa sawit juga terlalu tinggi,” kata Hadi Sugeng.
Melihat perkembangan terkini minyak nabati dunia, Hadi Sugeng menyebutkan bahwa ekspor kedelai mengalami kenaikan luar biasa, hampir mencapai 6 juta ton selama 5 bulan terakhir.
Dalam periode yang sama, India mengimpor kedelai hampir 2 juta ton. Selain itu, Uni Eropa juga mencatatkan kenaikan signifikan dalam impor biodiesel. “Jadi, ini menggambarkan bagaimana minyak substitusi non-kelapa sawit semakin mengisi pasar dengan signifikan,” kata Hadi Sugeng.
Lebih lanjut, Hadi Sugeng menyebutkan, produksi delapan jenis minyak nabati pada 2025 diperkirakan bertambah 2,1 juta ton dibandingkan 2024, jauh lebih kecil dari kenaikan 5 juta ton pada 2024 dibandingkan 2023.
Pertumbuhan produksi yang tinggi dari minyak kedelai 4 juta ton, produksi minyak biji bunga matahari minus 2,4 juta ton, minyak rapeseed minus 1 juta ton. “Tapi intinya di sini adalah adanya penambahan produksi non-kelapa sawit,” kata dia.
Kemudian, terkait konsumsi, konsumsi minyak sawit global diperkirakan masih akan naik 1,9 juta ton. Namun, konsumsi minyak sawit global sendiri diperkirakan akan turun 1 juta ton pada tahun ini. “Sementara itu, tahun lalu masih ada peningkatan secara global sebesar 0,4 juta ton,” kata Hadi Sugeng.
Di sisi ekspor, ekspor minyak nabati global diperkirakan turun 0,6 juta ton, dengan ekspor non-kelapa sawit juga turun 0,4 juta ton. Karena itu, harga minyak sawit dan minyak nabati utama lainnya diperkirakan tetap tinggi, karena pertumbuhan persediaan melambat, baik itu kelapa sawit maupun turunnya produksi bunga matahari.
“Jadi, intinya, di tahun depan, kami prediksi akan terjadi kompetisi yang luar biasa dalam menghasilkan minyak karena penurunan produksi,” tambah Hadi Sugeng.
Sementara di dalam negeri, diperkirakan masih ada pertumbuhan produksi sekitar 1,7 persen. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kondisi cuaca yang baik dengan jumlah hujan yang cukup, serta berakhirnya dampak dari El Nino. Selain itu, program replanting juga terus berjalan, meskipun lebih banyak dilakukan di kebun milik perusahaan.
“Nah, tetap PR kita adalah di kebun masyarakat, tapi kita masih optimis adanya peningkatan produksi sekitar 1,7 persen di tahun 2025,” kata Hadi Sugeng.
Kemudian, untuk konsumsi, diperkirakan masih ada peningkatan sebesar 18,7 persen. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh adanya implementasi B40, yang akan mendorong peningkatan pemakaian bahan baku CPO.
Sementara itu, untuk konsumsi pangan juga ada peningkatakan, meskipun pertumbuhannya tipis, sekitar 0,7 persen, konsumsi oleokimia juga menunjukkan tren yang serupa.
“Dengan demikian, total konsumsi diperkirakan akan meningkat signifikan, dari 23,8 juta ton pada tahun ini menjadi 26,13 juta ton pada tahun depan,” kata Hadi Sugeng.
Selanjutnya, Hadi Sugeng menjelaskan, karena produksi hanya naik menjadi 53 juta ton, volume ekspor akan mengalami penurunan. “Tahun ini, ekspor yang biasanya berada di atas 30 juta ton, diperkirakan akan turun lebih jauh. Ekspor diprediksi akan turun hampir 7 persen,” imbuh dia.