Peringatan Hari Kakao Indonesia (Cocoa Day Expo) ke-6 di Kementerian Perindustrian, Jakarta, baru-baru ini, tak semeriah dibandingkan dengan perayaan pada tahun-tahun sebelumnya. Inikah pertanda bahwa industri kakao nasional memasuki masa suram?
Masa kejayaan kakao Indonesia kini mulai pudar. Terlebih bila tolok ukur kejayaannya itu dilihat dari peningkatan jumlah produksi biji kakao dalam memenuhi bahan baku industri pengolahan cokelat. Produksi biji kakao domestik kini tak mampu lagi mengimbangi permintaan industri lokal kendati Indonesia tercatat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, kapasitas terpasang seluruh pabrikan pengolah kakao mencapai lebih 800.000 ton per tahun. Tapi, kapasitas terpakai industri hanya sebesar 49% dari kapasitas terpasang. Hal itu terjadi karena industri kekurangan bahan baku meskipun produk kakao merupakan salah satu produk prioritas.
“Kekurangan pasokan bahan baku itu juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat produktivitas lahan kakao. Produktivitas biji kakao di dalam negeri sebesar 0,3 ton—0,4 ton per hektar setiap tahun. Sementara itu, produktivitas lahan di negara-negara produsen biji kakao rata-rata mencapai 1 ton per hektar setiap tahun,” katanya usai Peringatan Hari Kakao Indonesia di Plaza Kementerian Perindustrian Jakarta, baru-baru ini.
Airlangga mengakui bahwa industri pengolahan kakao mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan perekonomian negara. Sebab, pemerintah sendiri telah menetapkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPN) 2015 – 2035, dan industri kakao termasuk salah satu industri prioritas yang harus dikembangkan.
“Dalam hal ini pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat atau kakao, lemak cokelat atau kakao, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, kosmetik serta farmasi,” papar Airlangga.
Karena itulah, dia menambahkan, pihaknya akan terus mendorong hilirisasi industri berbasis agro kakao, melalui pembentukan unit-unit pengolahan industri kakao yang diharapkan dapat menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru skala kecil, dan menengah melalui bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao.
Biji kakao merupakan bahan baku bagi industri pengolahan kakao. Sejumlah produk turunan biji kakao antara lain cocoa cake, cocoa butter, cocoa liquor, dan cocoa powder. Empat jenis produk tersebut merupakan bahan baku pembuat cokelat.
Pergerakan nilai ekspor produk olahan kakao rata-rata mengalami penyusutan karena kelangkaan bahan baku. Nilai ekspor cocoa cake turun 17,3% dari senilai US$187,6 juta pada 2015, menjadi senilai US$155,2 juta pada 2016. Ekspor cocoa butter turun 3,9% dari senilai US$726,3 juta pada 2015, menjadi senilai US$ 697,9 juta pada 2016.
Nilai ekspor cocoa liquor turun 21,9% dari senilai US$114,7 juta pada 2015 menjadi senilai US$89,6 juta pada 2016. Kenaikan nilai ekspor hanya terjadi pada produk cocoa powder sebesar 31,8% dari semula US$124,3 juta pada 2015, menjadi senilai US$163,9 juta pada 2016.
Pasar produk olahan kakao di Indonesia potensial untuk berkembang mengingat konsumsi kakao per kapita masih cukup rendah. Sebagai gambaran, konsumsi kakao Indonesia mencapai 0,4 kilogram per kapita. Adapun konsumsi kakao pada negara-negara lain di ASEAN menembus 1 kilogram per kapita.
Industri pengolahan kakao sendiri merasa optimis mampu menggenjot kapasitas terpakai sampai di atas 50% pada tahun ini di tengah perlemahan harga biji kakao internasional. Tapi kenaikan utilisasi itu juga mau tidak mau dibarengi kenaikan impor yang luar biasa.