Kebun Status HGU Diklaim Tak Sebagai Kawasan Hutan

0

Kepala Pusat Kajian Sawit IPB University Prof. Dr Ir Budi Mulyanto meminta Satgas Sawit untuk tidak mempermasalahkan lahan-lahan sawit yang sah menurut Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. Diharapkan Satgas Sawit bisa bekerja secara objektif agar tercipta stabilitas nasional.

“Pertama, Satgas Sawit diharapkan bekerja objektif. Tata Kelola dan pemasukan keuangan yang jadi tujuan kedua itu jangan dipikirin dulu. Yang terpenting perbaikan tata kelola. Basisnya data base lahan. Tanah-tanahnya yang sudah haknya jelas menurut UUPA ‘60, yang itu berasal dari kita itu tidak digugat,” ujar Budi pada Focus Group Discussion (FGD) yang bertema “Menimbang Putusan Satuan Tugas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit : Hitam atau Putih” di Jakarta, Kamis (5/10/2023).

Dia menjelaskan, pembentukan Satgas Sawit ini tidak terlepas dari isu pendapatan yang diterima negara.

“Yang paling krusial adalah settlement lahannya yaitu Land right/hak atas tanah. Setelah ada hak, tentu ada konsekuensi, ada subjek atas hak. Dengan ini negara diuntungkan karena ada institusi yang bertanggungjawab. Supaya pendapatan negara bisa diukur dengan pajak-pajak. Intinya kesana,” ungkapnya.

Akan tetapi, ujar Budi, yang menjadi lucu soal hak menetap (settle right) bahwa banyak lahan-lahan yang jadi sawit ini didefinisikan masuk ke dalam kawasan hutan.

“Karena dinamika hubungan manusia dengan tanah di negeri ini berdinamika ruang dan waktu. Tentu kita harus kita pahami, negeri ini tidak serta-merta semua jadi kawasan hutan. Negeri ini merdeka ’45, punya UU PA 60, UU Kehutanan ’67. Situasi ini jadi problem soal land right,” jelasnya.

Masalah yang pertama, lanjut Budi, tanah-tanah yang sudah jelas haknya, diakui oleh UUPA 1960. Ada HGU, ada HGB, ada hak milik yang disertifikat oleh institusi negara, namun dikategorikan masuk dalam kawasan hutan.

“Kawasan (hutan) masuk HGU, bukan HGU masuk kawasan. Hak sejak zaman Belanda ada, masa saat kemerdekaan masuk kawasan hutan. Ini dimana logikanya,” ucapnya.

Lebih lanjut, Budi pun mempertanyakan laporan pemerintah yang mendata mengenai Perusahaan-perusahaan yang lahan sawitnya masuk dalam kawasan hutan.

“Ini basisnya apa? Entar dulu, kan banyak legalitas yang dikeluarkan lembaga pemerintah, mulai dari izin lokasi, IUP dsb, itu dikeluarkan oleh lembaga pemerintah NKRI. Saya harap jadi konsideran,” ungkapnya.

Menurutnya, terkait sengket tersebut ada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) untuk mempercepat reforma agraria melalui legalisasi obyek agraria di kawasan hutan.

“Ini bagus. Ini bukan hanya untuk sawit tapi tanah-tanah rakyat yang masih didefinisikan sebagai kawasan hutan. Jika dilakukan ini bisa meminimalisir sengketa-sengketa yang ada,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dari hasil temuan BPKP diketahui bahwa lahan perkebunan sawit seluas 3,3 juta hektare masuk dalam kawasan hutan. Dalam kesempatan tersebut, Luhut mengatakan bahwa terkait perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan ini terpaksa akan diputihkan atau dilegalkan.

Luhut menegaskan, hasil audit BPKP tersebut juga menemukan banyak perusahaan sawit yang belum memiliki berbagai izin seperti izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan hak guna usaha ke depan. Satgas pun kedepannya, kata dia, akan mendorong setiap perusahaan ini melengkapi berbagai izin yang diperlukan.

Pemerintah memberikan batas waktu hingga 2 November 2023 kepada para pengusaha sawit yang menggunakan lahan ilegal untuk menyelesaikan sanksi administratif. Apabila sanksi administratif tidak dipenuhi, pemerintah akan mengenakan sanksi pidana.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini