
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi menegaskan, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal menjadi salah satu pilar penting dalam strategi pemenuhan pangan nasional, selain intensifikasi dan ekstensifikasi.
Arief menekankan, pemanfaatan ragam pangan lokal harus menjadi prioritas bersama. Indonesia memiliki kekayaan hayati berupa 77 jenis pangan sumber karbohidrat yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal.
“Jadi, dalam pemenuhan pangan, salah satu strategi untuk mencapainya meliputi optimalisasi lahan, ekstensifikasi lahan, dan yang satunya lagi adalah diversifikasi pangan,” kata Arief dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (21/4).
Terkait diversifikasi pangan, kata Arief, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 81 Tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal.
“Dalam Perpres ini disampaikan, kalau kita bisa memanfaatkan produksi dalam negeri ini, tentunya dari setiap wilayah, seluruh komponen bangsa ada di situ,” jelas Arief.
Arief menegaskan, pentingnya mengangkat kembali kearifan pangan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Tidak hanya soal keberagaman karbohidrat, tetapi juga bagaimana masyarakat lokal mengombinasikan sumber pangan dengan protein dari alam sekitar.
“Kita bicara satu isi piring, kalau sepertiganya karbohidrat, tidak harus nasi. Bisa digantikan singkong, kentang, sorgum, sagu, atau jagung. Di banyak daerah, orang masih sarapan singkong, ubi jalar, atau ubi rambat. Itu semua karbohidrat,” kata Arief.
“Kalau kita sering ke daerah, sarapan petani itu biasanya singkong rebus, jagung, kacang rebus, sumber karbohidrat dan protein. Ada juga ikan air tawar dari kolam kecil di pekarangan. Ini contoh kearifan pangan lokal yang luar biasa,” sambung dia.
Arief juga menyoroti masih perlunya meningkatkan kualitas konsumsi pangan lokal saat ini. Konsumsi singkong hanya 9,5 kg per kapita per tahun, ubi jalar 3 kg per kapita, sedangkan konsumsi beras mencapai 84 kg per kapita per tahun.
Hal ini menunjukkan dominasi konsumsi nasi yang perlu segera diimbangi dengan edukasi serta penyediaan alternatif pangan berbasis sumber daya lokal.
“Coba kita lihat, di Papua itu sagu, di Sulawesi Selatan ada beras jagung, dan masyarakat Wonosobo bahkan mengonsumsi belut sebagai sumber protein. Ini semua potensi luar biasa yang perlu kita angkat kembali. Ikan dan belut itu sumber protein tinggi, bahkan bisa menunjang kecerdasan. Orang yang terbiasa makan ikan itu biasanya memang pintar-pintar,” jelas Arief.
Dalam kesempatan berbeda, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas, Andriko Noto Susanto, menekankan pentingnya upaya bersama dalam mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber pangan utama.
“Kita perlu mendorong peningkatan konsumsi pangan lokal. Saat ini, konsumsi pangan lokal seperti singkong dan ubi jalar masih sangat rendah dibandingkan beras. Padahal diversifikasi pangan ini adalah solusi untuk mewujudkan sistem pangan nasional yang lebih beragam, sehat, dan berkelanjutan,” tegas dia.
“Kita mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghidupkan kembali semangat konsumsi pangan lokal sebagai bentuk nyata dari kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal,” tutup Andriko.