Mekanisme DMO Diusulkan untuk Kendalikan Harga Minyak Goreng

0

Kementerian Perdagangan berencana mengendalikan harga minyak goreng menggunakan dana pungutan ekspor sawit.

Namun, sejumlah anggota Komisi VI DPR menentang kebijakan itu dan mengusulkan pengendalian harga menggunakan mekanisme alokasi untuk kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO).

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, saat ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah membahas rencana kebijakan itu dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Hal itu lantaran penggunaan dana kelolaan sawit harus melalui persetujuan Komite Pengarah yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

”Tim kerja Kemendag juga tengah menyiapkan mekanisme implementasi pengendalian harga minyak goreng menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal itu mencakup berapa jumlah minyak goreng yang akan digelontorkan, dana yang dibutuhkan, hingga teknis pelaksanaannya,” ujar Lutfi di Jakarta baru-baru ini.

Kemendag juga tengah menyiapkan mekanisme implementasi pengendalian harga minyak goreng menggunakan dana BPDPKS. Hal itu mencakup berapa jumlah minyak goreng yang akan digelontorkan, dana yang dibutuhkan, hingga teknis pelaksanaannya.

Lutfi menjelaskan, selain untuk peremajaan dan hilirisasi kelapa sawit serta biodiesel, dana kelolaan itu dapat digunakan untuk kebutuhan pangan atau pengendalian harga. Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Pasal 11 Ayat (2) regulasi itu menyebutkan, penggunaan dana yang dihimpun dari pungutan ekspor kelapa sawit digunakan untuk kebutuhan pangan. Kemudian di pasal yang sama Ayat (3) disebutkan, kebijakan penggunaan dana itu harus ditetapkan Komite Pengarah dan memperhatikan program pemerintah.

”Penggunaan dana kelolaan untuk pengendalian harga minyak goreng itu tidak akan permanen. Pasalnya, lonjakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang memengaruhi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri tidak akan berlangsung lama. Harga CPO pasti akan turun menuju keseimbangan baru,” kata Lutfi.

Penggunaan dana kelolaan untuk pengendalian harga minyak goreng itu tidak akan permanen.

Sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Kemendag pada 13 Desember 2021, Lutfi menyebutkan, dana BPDPKS yang digunakan untuk peremajaan kelapa sawit sebesar Rp 5,8 triliun. Saat ini masih ada dana kelolaan sekitar Rp 14 triliun yang sebagian bisa digunakan untuk mengendalikan harga minyak goreng. Khusus minyak goreng curah yang dibutuhkan oleh rumah tangga serta industri kecil menengah dan usaha mikro, kecil, dan menengah, kebutuhannya secara nasional sekitar 2,1 juta liter.

Kemendag mencatat, harga CPO global saat ini sudah di kisaran 1.300 dollar AS per ton. Harga tersebut menjadi patokan pembelian CPO oleh produsen minyak goreng yang selama ini tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Adapun rata-rata nasional harga minyak goreng curah Rp 18.000 per liter serta minyak goreng kemasan sederhana dan premium di atas Rp 19.000 per liter.

Oleh karena itu, sejumlah anggota Komisi VI DPR meminta agar pemerintah tegas mengintervensi lonjakan harga minyak goreng di pasar dalam negeri. Selama ini belum ada upaya intervensi harga dari pemerintah, kecuali penyediaan minyak goreng dengan harga terjangkau, yakni Rp 14.000 per liter, sebanyak 11 juta liter dan hanya di ritel modern.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar, Nusron Wahid, mengusulkan agar Kemendag mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri dengan menggunakan mekanisme DMO. Melalui mekanisme itu, pemerintah dapat menentukan harga CPO yang lebih rendah dari harga global untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Selain itu, Kemendag juga diminta mengendalikan harga minyak goreng itu sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan sebesar Rp 11.000 per liter. Hal ini sama seperti yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan harga gula pasir dengan mematok harga pembelian gula di tingkat petani sebesar Rp 10.500 per kg.

”Kemendag seharusnya konsisten dengan upaya menjaga keseimbangan pasar. Harga gula di tingkat petani saja dapat dikendalikan dan ditekan demi mencapai keseimbangan pasar. Namun, dalam konteks pengendalian harga minyak goreng, pemerintah justru tidak berani meminta produsen CPO memberi harga khusus agar harga minyak goreng di dalam negeri lebih terjangkau,” katanya.

Dalam konteks pengendalian harga minyak goreng, pemerintah justru tidak berani meminta produsen CPO memberi harga khusus agar harga minyak goreng di dalam negeri lebih terjangkau.

Nusron tidak setuju jika pemerintah mengendalikan harga minyak goreng dengan menggunakan dana BPDPKS. Dana itu sebaiknya digunakan untuk peremajaan kelapa sawit petani.

Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra Mohamad Hekal juga meminta Kemendag mengendalikan harga minyak goreng sesuai dengan HET. Hal ini perlu dilakukan mengingat kebutuhan masyarakat akan minyak goreng terus meningkat menjelang perayaan Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.

Sementara Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi PDI-P Aria Bima menyatakan, pemerintah dulu pernah menerapkan DMO CPO guna memenuhi kebutuhan produsen minyak goreng di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mengkaji relevansi kebijakan itu, apakah bisa diterapkan untuk saat ini atau tidak.

”Jika kebijakan itu masih relevan, pemerintah dapat mengopi kebijakan tersebut untuk melindungi konsumen minyak goreng di dalam negeri,” kata Aria yang tidak menutup kemungkinan opsi penggunaan dana BPDPKS.

Menanggapi hal itu, Lutfi menuturkan, DMO sebenarnya sudah diterapkan pemerintah saat ini, yaitu dengan pengenaan bea keluar ekspor CPO sebesar 183 dollar AS per ton sehingga tidak mungkin kebijakan itu diterapkan. Namun, Kemendag tetap akan mengkajinya.

Ia juga menjelaskan, konteks penerapan DMO pada 2000 berbeda dengan saat ini. Waktu itu, DMO diterapkan untuk mengatasi kekurangan stok CPO untuk produksi minyak goreng di dalam negeri. Adapun dalam konteks sekarang, stok CPO masih cukup, tetapi harganya yang melonjak akibat siklus super (supercycle) komoditas dan program B30.

Lutfi juga menyebutkan, pemerintah tidak dapat lagi menggunakan HET untuk mengendalikan harga minyak goreng lantaran dasar penghitungan HET itu sudah tidak relevan. Waktu itu, penetapan HET minyak goreng kemasan sederhana itu berdasarkan harga CPO yang masih 600 dollar AS per ton.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini