Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memperkirakan tahun 2020 akan terjadi defisit neraca gula kristal putih (GKP). Hal ini dikarenakan adanya penurunan produksi gula selama setahun ke depan, sehingga diperlukan impor gula untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Direktur Eksekutif AGI, Budi Hidayat, produksi gula tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,1 juta ton. Jika ditambah sisa stok 2019 yang menjadi stok awal 2020 sebanyak 1,08 juta ton sehingga total ketersediaan gula tahun ini sebanyak 3,13 juta ton.
Sementara kebutuhan gula konsumsi tahun 2020 mencapai 3,16 juta ton sehingga terdapat defisit sekitar 29 ribu ton.
“Untuk memenuhi kebutuhan tahun 2020 sekaligus sebagai persiapan awal 2021 maka diperlukan impor gula untuk konsumsi langsung. Baik itu dalam bentuk gula mentah (GKM) maupun dalam bentuk gula kristal putih (GKP),” kata Budi dalam Sugar Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (12/2).
Menurut Budi, dalam hitungan AGI setidaknya dibutuhkan impor gula konsumsi sebanyak 1,33 juta ton. Kebutuhan itu selain untuk menutupi defisit 2020 sekaligus sebagai persediaan awal tahun 2021. Apalagi, diproyeksikan produktivitas gula tahun ini diperkirakan turun sekitar 10 persen imbas kemarau panjang tahun 2018-2019.
Imbasnya arga gula dunia pada semester I tahun 2020 diperkirakan mengalami sedikit kenaikan dibanding kondisi tahun 2019.
Menurut Budi, hal tersebut dicerminkan pada nilai-nilai kontrak yang dibuat pada bulan-bulan Maret s/d November tahun 2019 untuk pengapalan bulan Maret 2020 berkisar antara USD 269,62-304,23 per ton, dengan rata-rata USD 288,37 per ton, dan untuk pengapalan bulan Oktober 2020 berkisar antara USD 281,09 – 311,29 per ton atau rata-rata USD 296,76 per ton.
“Harga lelang gula petani rata-rata tahunan pada tahun 2019 sebesar Rp 10.196,-/kg, mengalami peningkatan dibanding tahun 2018 yang tercatat Rp 9.469,-/kg). Kenaikan tersebut diikuti dengan peningkatan pada harga retail dari Rp 12.047 (2018) menjadi rata-rata Rp12.204,-/kg (2019),” jelasnya.
Meski demikian, lanjutnya, harga retail stabil, walaupun memasuki tahun 2020, diawali dengan adanya peningkatan harga lelang yang pada beberapa kasus cukup tinggi (mencapai lebih dari Rp 12.000,-/ kg).
“Diperkirakan harga retail juga akan meningkat menyesuaikan harga lelang, namun kenaikan harga tersebut tetap akan dikendalian oleh penetapan harga tertinggi oleh pemerintah (Surat Mendag No 1171/M-DAG/SD/12/2019) sebesar Rp 12.500,-/kg) yang berlaku sampai 30 Juni 2020,” tambah Budi.
Perlu dikatahui, tahun lalu pemerintah tidak membuka keran impor untuk gula konsumsi. Impor gula hanya dibuka khususu untuk kebutuhan gula rafinasi bagi industri makanan dan minuman dalam negeri. Di tengah kebijakan tersebut, musim kemarau panjang melanda Indonesia dan mempengaruhi siklus tanaman tebu.
Staf Ahli AGI, Yadi Yusriyadi, menambahkan perlu adanya penataan impor gula konsumsi secara tepat untuk menghindari defisit dan menjaga iklim usaha tebu rakyat. Sebab, defisit gula akan menyebabkan kenaikan harga gula di toko ritel dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Harga gula sekarang rata-rata sudah tidak Rp 12.500 per kilogram lagi, tapi sudah naik jadi Rp 13 ribu – Rp 14 ribu. Ini sudah mulai terasa. Kalau tidak segera impor nanti akan langka,” kata Yadi.
Yadi menambahkan, gula kristal putih yang menjadi gula konsumsi langsung juga untuk kepentingan industri hotel restoran dan katering. Yadi menuturkan, dalam waktu dekat harga gula akan terus mengalami kenaikan karena minimnya ketersediaan di dalam negeri.
“Kapan impornya itu tergantung dari pemerintah waktunya. Kalau sampai Desember 2020 belum terealisir, persediaan gula konsumsi hanya sedikit padahal butuh persiapan untuk awal 2021,” kata Yadi.
Lebih lanjut Yadi mengatakan disamping masih perlunya bantuan impor gula konsumsi, upaya untuk peningkatan produktivitas gula di dalam negeri dan perluasan lahan harus terus dilanjutkan. Secara ideal, produktivitas gula dalam negeri minimal harus mencapai 7 ton per hektare dari saat ini masih di bawah 5,4 ton per hektare.
Adapun, luasan lahan yang dibutuhkan untuk bisa memproduksi gula sesuai kebutuhan nasional seluas 900 ribu hektare dari saat ini sekitar 411 ribu hektare. Disamping itu, penggunaan varietas tebu sebagai tanaman penghasil gula harus sesuai dengan kondisi iklim di masing-masing wilayah.
“Kami selalu sampaikan program untuk promosi kenaikan produktivitas tebu, intensifikasi dan ekstensifikasi agar naik produksi naik, masih sangat diperlukan,” pungkas Yadi.