Segenap kalangan minta pemerintah agar serius mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Salah satu upaya yang bisa dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas terutama bagi perusahaan yang melanggar dan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Bencana kebakaran hutan dan lahan menjadi persoalan yang acap dihadapi pemerintah setiap tahun, terutama di musim kemarau. Dampak asap kebakaran ini tak hanya dirasakan masyarakat Indonesia, tapi juga negara tetangga.
Setelah kasus kebakaran lahan dan hutan di sejumlah daerah tahun 2015 berakhir maka pemerintah pun menerbitkan sejumlah regulasi untuk mengantisipasi persoalan serupa. Salah satunya adalah digulirkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.
Perpres ini diterbitkan dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan. Ada 7 provinsi prioritas restorasi gambut, yakni Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Dalam pemantauan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, sebagian lahan dan hutan yang terbakar merupakan wilayah gambut. Bahkan tahun 2019 tercatat sedikitnya 354 titik panas di sejumlah daerah dan 202 di antaranya berada di kubah gambut. Ironisnya, mayoritas daerah yang terdapat titik panas itu merupakan lokasi yang sama ketika kebakaran hutan dan lahan di tahun 2015. Menurut Teguh, fakta ini mengindikasikan belum optimalnya restorasi lahan gambut dan lemahnya pengawasan.
Teguh juga mencatat bahwa saat ini ada 197 titik panas di lahan konsesi milik 8 perusahaan yang beroperasi di Provinsi Riau. Mengacu pada UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Teguh mengingatkan ada konsep tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi perusahaan yang melakukan pencemaran atau perusakan terhadap lingkungan hidup.
“Presiden Joko Widodo harus melakukan penegakan dan tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggar lingkungan hidup,” kata Teguh, belum lama ini, di Jakarta.
Dia berpendapat tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengurangi upaya mitigasi (pencegahan) guna mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan. Menurutnya, informasi, instrumen hukum, dan infrastruktur yang ada saat ini sudah cukup memadai sebagai modal pemerintah melakukan tindakan yang tegas di bidang perlindungan lingkungan hidup.
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB, Bambang Hero Saharjo mengutarakan, kebakaran hutan dan lahan saat ini terjadi sedikitnya di 12 kabupaten dan kota di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Bengkulu, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Bahkan, ujar dia, pemerintah telah melakukan upaya hukum terhadap perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran karena membakar lahan konsesinya seperti sebuah perusahaan di Sulawesi Tenggara yang membakar sekitar 1.000 hektar lahan untuk area perkebunan kelapa sawit.
Bambang menilai regulasi yang ada sudah cukup baik, dan fakta yang terjadi di lapangan juga sangat jelas. Upaya yang perlu dilakukan saat ini adalah ketegasan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan, misalnya mencabut izin perusahaan yang melanggar aturan dan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
“Cegah kebakaran hutan dan lahan selama ini hanya menjadi jargon dan tidak pernah dijalankan serius. Buktinya kebakaran hutan dan lahan terus terjadi berulang kali,” katanya, menekankan.
Menurut Bambang, tidak sedikit perkara perdata dalam kasus kebakaran hutan dan lingkungan yang dimenangkan pemerintah. Denda yang dijatuhkan pengadilan dalam kasus tersebut mencapai ratusan miliar rupiah. Sayangnya, kemenangan pemerintah dalam perkara perdata itu tidak dibarengi dengan penegakan hukum pidana di sektor lingkungan hidup karena banyak perkara yang ujungnya dihentikan (SP3). “Untuk melakukan penegakan hukum ini butuh komitmen pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum.”
Dia mencontohkan pemerintah memenangkan perkara perdata terhadap sebuah perusahaan yang beroperasi di Sumatera Selatan. Perusahaan itu dihukum membayar denda Rp600 miliar. Tapi perkara pidananya mandek karena pihak kepolisian menerbitkan SP3. “Yang dibutuhkan sekarang ini ketegasan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan,” tukas Bambang.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware menambahkan, konflik agraria berkontribusi terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, pencegahan kebakaran hutan dan lahan perlu dilakukan beriringan dengan penyelesaian konflik agraria. Kata dia, sebagian lokasi kebakaran lahan dan hutan merupakan wilayah konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang mengklaim memegang konsesi.
“Pemerintah harus berani mencabut lahan konsesi yang ditelantarkan perusahaan dan mengalokasikannya untuk masyarakat melalui reforma agraria,” pintanya. ***AP, SH, NM, TOS